Seorang Cut Nyak Dhien

Peluh di keningnya itu masih mengucur sekujur tubuh seiring gerak tangannya yang menyikat bagian-bagian dekil seember penuh pakaian. Sesekali tangan kecil yang kurus itu melap keringat di wajahnya dengan helaan nafas menderu beriring dengan kucuran air keran pada cucian. Berbusa-busa sabun menyelimuti tangan dan kakinya sehingga persahabatan bersama mereka membuat kaki dan tangannya kasar dan pecah-pecah. Baju daster berwarna merah pudar lusuh yang koyak pada ujung-ujung bawahnya, melambai-lambai saat gerakan tangan kurus itu menyikat pakaian dengan cekatan.

Seminggu tiga kali, ia ke rumahku. Menyuci dan menggosok pakaian seluruh anggota keluarga. Seminggu tiga kali lagi ia di rumah tetanggaku, melakukan hal yang sama. Sebelum ke rumahku, ia kerumah yang lain dulu, singkatnya menyuci dan menggosok merupakan profesi sehari-harinya. Ia tinggal tak jauh dari kompleks rumahku dan lahan pekerjaannya juga disekitar sini pula.
“ Anis…udah bangun?” Ia ternyata sadar akan kehadiranku di belakangnya. Dengan malu aku hanya tersenyum. “ Gak kuliah Nis?” “ Nissa masuk sore kak.” Aku duduk menonton giatnya ia meremas-remas pakaian dari satu ember ke ember yang lain. Itu tandanya sudah tahap pembilasan dan pekerjaannya akan segera berakhir setelah menjemurkan mereka semua.

Tak percaya, lengan yang terbiasa melakukan pekerjaan rumah itu dulunya adalah lengan seorang pejuang. Paling tidak itulah yang ia katakan padaku suatu kali setelah enam bulan ia bekeja di rumah ini. Ia terbiasa masuk hutan ke luar hutan, memangkul senjata, membidik musuh dan bersiap mengantar nyawa. Cerita itu terkadang teringat setiap aku memandangnya bekerja. Tubuhnya kecil tak terurus. Karena sedang menyuci, ia melepas jilbabnya. Rambutnya yang sebenarnya lurus, tipis dan kering tampak tak terurus. Pipinya tirus memperlihatkan begitu tua mengalahkan usianya. Begitu keras ia hidup, dan tanpa suami harus membesarkan anaknya. Mereka tinggal di sebuah rumah tumpangan. Rumah kecil itu bukan hanya dihuni berdua ibunya, tapi juga terdapat sejawat yang satu profesi tukang. Mulai tukang cuci, menggosok, masak, hingga tukang bangunan. Mereka punya sejarah masa lalu yang sama dan kini mengadu nasib ke kota.

“ Anak kakak tahun ini masuk sekolah ya?” aku mengajaknya berbicara. Ia tersenyum sambil membilas pakaian terkahir. “ Belum cukup uangnya, tahun depan mungkin.” Suaranya begitu biasa saja seperti tak ada lagi kesedihan akan ketidak mampuannya memberikan pendidikan pada anak sematawayang yang ia miliki.

Aku melihat ember yang berisi pakaian yang sudah dibilas dengan baunya yang harum. Ember itu diangkatnya menuju jemuran yang tak jauh dari tempatnya mencuci. Sehelai demi sehelai kain itu dibentangt.“ Bapak saya dibunuh di depan mata saya. Mereka berseragam dan berlaras panjang menggedor rumah kami pada malam yang kelam. Bapak di bunuh karena dianggap pemberontak, kakak laki-laki saya juga di bawa pergi tak pernah kembali, Sedangkan saya, ….diperkosa dengan keji. Mereka bilang, saya dari darah yang kotor sudah tidak mengapa ikut dikotori.” Sepenggal percakapan yang kuingat saat itu.

“ Kakak umur berapa waktu kejadian itu?” aku penasaran dengan kisahnya.” 13 tahun, saat tahun-tahun kelam bagi kami. Tahun 1989.” Entah apa yang ia pikirkan sambil menjemur kain-kain di bawah sinar matahari yang sengat. Mungkinkah ia masih mengenang luka yang bertubi-tubi itu saat bergelut pada pakaian-pakaian yang dibersihkannya itu? Ketika kutanya suaminya dimana, ia menahan amarah dengan kelemahan kata-kata: “ ditangkap, dibunuh, nasibnya sama seperti bapak dan kakak saya meskipun dengan waktu yang berbeda. Tahun 2003, Darurat Militer yang tak mungkin lagi untuk menghidar dari keinginan pembalasan dendam yang bertubi-tubi bagi orang-oang seperti kami. Saat itu anak kami lahir belum genap sebulan di dunia ini.”

“Ketika ibu saya masih hidup, si kecil itu harus rela diurus oleh neneknya. Tekad saya untuk berjuang setelah itu semakin besar. Saya lelah dengan ketidak adilan ini Perempuan yang sudah tiga tahun bekerja di rumahku sejak MoU Helsinki, berdiri dan memasangkan jilbabnya lagi, memperbaiki letak dasternya dan berjalan membuka pintu belakang rumah tempat ia keluar dan masuk seperti biasanya. Bocah enam tahun ikut menguntit ibunya, ia berpaling padaku sesaat sambil terseyumn ceria. Cara ana-anak mengucapkan terimakasih setelah sepotong kue kuletakkan di genggamannya. Aku memandang lumat sambil membayangkan Tjut Njak Dhien dalam bingkai yang berbeda. Perempuan perkasa dari tanah Aceh yang berjuang dalam sisa-sisa sejarah, perempuan yang menyimpan luka panjang di ranah perdamaian.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :