Sayap yang Patah

PAGI ini ia begitu riang. Tak henti cericitnya mendendang syair. Udara dingin tak membuat tubuhnya menggigil. Dia  meloncat ke sana ke mari,  dua kali di dahan rambutan, tiga kali hinggap di pelepah pinang. Sinar  matahari membilas bulunya yang lebat, kuning kemerah-merahan. Sangat elok.  Sayapnya yang lebar, kokoh naik turun sembari membawa tubuhnya terbang dan hilang pada rerimbunan pepaya.

Tapi siapa sangka kelincahan itu lenyap seketika, bersama dentuman senjata. Peluru menembus tulang sayap kanannya.  Sakit sekali. Tetes darah jatuh menimpa buah pepaya yang  menguning. Dia  tersungkur, terjerembab menumbuk bumi. Kebahagiaan begitu cepat berganti duka.

Dia melawan sakit. Digerakkan sayap kiri sementara sayap kanan terus mengeluarkan darah.  Nafasnya terputus-putus. Dikumpulkan sisa tenaga, kakinya tak mampu menopang  tubuh sendiri. Ia ingin terbang ke sarang mengantarkan makan  untuk tiga buah hatinya yang masih merah. Sekerat daging pepaya digigit erat.

Matanya  senada warna langit melukis mendung. Lamat-lamat basah menutup kelopak mata, terus mengalir mengikuti lekuk lehernya yang bulat berisi.  Ia menangis, suara tersekat daging pepaya, sehingga tak menimbulkan bunyi.  Sementara dari balik semak dua pemuda menunjuk-nunjuk ke tempat tubuhnya terbaring lemah.

Ia menyeret tubuh ke balik pokok pepaya dan bersembunyi  di bawah daun kering. Pikirannya melayang jauh, menembus awan gemawan, lereng-lereng, bukit-bukit, laut-laut, dan bintang-bintang.   Bila diberikan pilihan ia ingin mati setelah menetapi janji pada anaknya, membawa pulang pepaya untuk sarapan pagi. Ia ingin terbang memeluk mereka satu per satu.  Ia tak mau mati di sini menjadi santapan manusia, digoreng atau dipanggang. Hatinya semakin pilu. Bayang-bayang maut mengelilingi setiap sekat.

Tadi pagi sebelum matahari menyembul naik ke pokok rumbia, ia bersama tiga anaknya yang baru berumur satu minggu berlatih berkicau merdu, anaknya mengikut dengan suara putus-putus, sesekali mereka tertawa panjang. Setelah berlatih mereka lelah. Ia bergegas terbang ke rerimbunan pohon pepaya, untuk mencari makan. Bukankah seorang ibu tahu betul kapan anaknya didera lapar, tanpa dikasih tahu.

Ia ingin membesarkan ketiga darah dagingnya dengan bahagia, ingin mereka tumbuh seperti dirinya, gagah dan menawan, dengan bulu berwarna-warni, sepasang sayap kokoh bisa terbang menembus cakrawala. Selayaknya mimpi semua ibu untuk anaknya.

Tapi sangguh malang. Takdir Tuhan berkata lain. Baru sekali patukan, dua manusia tinggi besar menenteng senjata lantas mengirimkan duka menembus jiwanya yang lemah. Ia tak habis pikir, begitu durjakah manusia, tega membunuh sesama mahluk hidup, walaupun tak sebangsa tapi bukankah semua yang bernyawa berhak hidup sejahtera?

Di bawah dedaunan kering tak henti ia melafaz doa, pintanya kepada sang penguasa mengalir deras, bukan balasan layaknya manusia dendam sesama.  Ia hanya meminta sebelum menyerahkan jiwa pada pemilik-Nya, sekejap saja berada di sarang mengantar sarapan untuk anaknya. Tak lebih, hanya itu. Ia bukan makhluk tamak, yang setelah diberi lalu meminta lagi.

Matahari kian menanjak. Sinarnya menyebar ke semua semesta, daun-daun terusik, rumput-rumput menggeliat, sapi melenguh, kerbau menceburkan tubuhnya yang tambun dalam kubangan, bangkit saat langit barat dilukis senja. Sementara burung itu masih mendekap harapan, seolah ia sedang bertarung dengan malaikat pencabut nyawa. Ia tak mau mati. Tidak untuk sekarang. Sedangkan kematian tak bisa ditawar-tawar.

Pemuda dengan senjata di tangan tak menemukan burung itu. Mereka memang tidak berniat mencari hingga dapat. Mereka puas, berhasil membunuh dengan sekali tembakan.

Mereka pergi mencari mangsa lagi. Dengan senjata itu puluhan mahluk telah merenggang nyawa. Sang burung terbaring lemah, dikumpulkan sisa energi. Ia harus pulang. Ia melawan sakit, terbang dengan satu sayap terluka. Pepaya masih di mulut, ia menepati janji kepada anaknya.

Sarangnya dibuat  dari susunan dedaunan kering pada celah pelepah pinang. Ketiga anaknya menunggu cemas. Bulu tipis terlihat kuyu, mata memerah, nafas tersengal menahan lapar. Begitu mulut runcing induk menyuap pepaya, mereka makan dengan lahap.  Kebahagiaan mengusir kecemasan, padahal derita panjang akan menimpa lebih lama. Sang induk merintih pelan, darah kering kini menggumpal.

Mimpi mengajarkan anak untuk terbang menembus awan lenyap sudah. Ia tak bisa lagi terbang meliuk-liuk seperti dulu. Sayap yang patah memang tak lagi berdarah, tapi mengepak sempurna tak juga bisa. Ia lebih banyak berdiam di sarang, kadang berdiri pada pelepah pinang sembari menunggu apa saja yang bisa dimakan.

Tentu saja ia iri  melihat burung-burung lain terbang ke sana ke mari, yang kadang  pulang membawa makan. Tapi ia juga khawatir, suatu saat burung itu pun  akan berjumpa dengan pemuda bersenjata itu. Ia tak ingin mereka menimpa malang seperti dirinya.

Namun, suatu hari ia mendapat kabar bahwa pemuda dan senjata itu tak ada lagi. Senjata tersebut telah dipotong-potong. Disaksikan beramai-ramai pula.  Ternyata bukan satu, ratusan senjata dimusnahkan di kampung tersebut. Berarti banyak  yang sudah mereka bunuh. Ia melihat ketiga anaknya tumbuh dalam kesengsaraan, lapar, dan haus. Kicaunya tak merdu, kepak sayap tak gagah.  Usai pemotongan senjata, hidupnya tak juga berubah. Sayap  yang patah takkan kembali baik lagi. Masa depan anaknya suram sudah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :