Sepasang Sepatu Bekas

Hari itu awan putih begitu bersahaja memeluk puncak seulawah. Binaran mentari yang terus merangkak melemparkan sebongkah cahaya ke dalam rumah tua yang reot itu. Burung segala burung terus menari-nari dan bernyanyi dari dahan satu ke pelepah lain. Kicauan merdunya menghentakkan makhluk dunia untuk bangun dari mimpinya. Angin sepoi-sepoi bergerak perlahan dan hinggap di sembarang tempat,  merasuk sampai ke dalam tulang belulang hingga menyentuh pucuk cemara yang menjulang tinggi di angkasa.
Begitu juga ibu tua itu menjalani kehidupannya. Seperti biasa, wanita yang sudah setengah baya itu terus berjuang untuk bertahan hidup bersama anak semata wayangnya yang kemarin baru didaftarkan ke sebuah sekolah dasar swasta.

Pagi itu, dia sudah siap dengan perkakas kerjanya. Sebuah keranjang besar, besi pengais, dan sepasang sarung tangan yang sudah kusam dan tua terletak di depan pintu rumahnya. “Adek,  mak pergi dulu ya,” katanya pada sang anak yang masih bergelut di bawah selimut. “Mak, tunggu adek,” teriaknya dari bawah selimut. Si anak mendekatinya. “Nanti mak tolong belikan adek sepatu baru ya mak. Hari Senin adek kan masuk sekolah,” pintanya dengan suara yang terbata-bata kepada ibunya. Ibu tua itu hanya tersenyum dan mengangguk sembari mengelus-ngelus kepala anaknya. “Mak jalan dulu, ya?”

Bongkahan cahaya telah terang dan menghambur ke seluruh semesta. Ada  sebuah keranjang besar yang disangkut di punggungnya. Dia menuju ke gunungan sampah yang tidak jauh dari rumahnya. Mobil-mobil pengangkut sampah datang dan pergi secara bergantian. Orang-orang telah ramai memadati gunungan sampah itu. Bau menyengat tidak lagi menganggu pernafasan. Hidung mereka telah kebal dengan aroma amis, jorok, dan bahkan  bau bangkai. Dengan sebatang besi di tangan mereka mengais-ngais dan membolak-balik sampah. Semuanya sibuk bekerja.

Wanita itu baru sampai ke ladang yang dipenuhi sampah-sampah. Dia tidak berhenti lagi untuk beristirahat. Tangannya terus membolak balik kumpulan sampah. Mengais mencari plastik dan botol. Setiap kali botol dan plastik didapatkan, langsung      dimasukkan ke dalam keranjangnya.

Sambil mengais-ngais sampah dengan putungan besi, dia teringat dengan  anaknya tadi yang  meminta sepatu. “Ya Allah, dari mana saya mendapatkan sepatu itu. Saya tidak punya  uang untuk membeli sepatu,” cetusnya dalam hati sembari memandang lurus ke arah mobil pengangkut sampah yang baru datang.

Bukan apa-apa,  harga sepatu seperti juga harga kebutuhan pokok lainnya saat ini  melangit. Bagi orang yang berpunya, sepasang sepatu tidaklah sulit diperoleh di toko dengan segala merek.  

Tapi, bagi  perempuan pengais sampah ini, perlu waktu berminggu-minggu menyisihkan uang untuk membeli sepatu sang anak.  

Butiran-butiran peluh melembabkan wajahnya. Diusap peluhnya dengan punggung tangan yang berlapiskan kain kasar yang membalut tangan keriputnya. Hari semakin meranjak ke ubun-ubun. Hawa panas mulai membakar kulit. Keranjangnya belum penuh, baru terisi setengah. Hatinya semakin gelisah, mengingat dua hari lagi anaknya  masuk sekolah. Uang yang dikumpulkan sehari hanya cukup  untuk makan sehari. Kalau dia bekerja hari ini, ya berarti hanya  cukup untuk makan esoknya.

Kini tangannya tidak lagi bergerak. Dia berdiri kaku menunduk ke bawah memandangi sampah. Menunggu datangnya keajaiban dibalik sampah-sampah itu: sepasang sepatu. Tangan kirinya memegang botol aqua kosong, sedangkan tangan kanannya memegang besi pengais yang ditancapkan ke tumpukan sampah.

“Minah. Istirahat dulu,” badannya tersentak dikejutkan oleh suara pak Dolah yang mengajaknya beristirahat. “Iya bang, sebentar lagi,” sautnya lemas. Sekarang dia berpindah tempat, menuju ke sampah yang baru dituangkan oleh mobil pengangkut sampah. Bau asam menyengat ke udara. Tangannya terus mengais sampah-sampah yang menumpuk di depannya. Plastik-plastik yang didapatnya dilemparkan ke dalam keranjangnya untuk dikumpul dan dijual pada agen penampungan.  Meski harga jual hanya Rp 2.000 per kilo, tak menyurutkan kegigihan ibu satu anak ini untuk terus berjuang.

Matahari bersimpuh tepat di atas kepalanya. Bajunya yang lusuh sudah basah oleh keringat. Ujung besi terus membolak balik setiap lapisan sampah. “Haahh... Sepatu!” ucapnya halus. Jantungnya berdetak kencang. Matanya terus tertuju pada sepatu tua  yang tergeletak tak berdaya dalam tumpukan sampah. Ujung besi mengais dan mengangkat sepatu itu tepat di talinya. Disambut oleh tangan kirinya.

Matanya sembab melihat sepatu yang ditemukannya itu. Tangannya membolak balik sepatu itu mengecek. “Sebelah kanan,” bisik pada dirinya. Matanya kembali mengarah ke tempat ditemukannya sepatu tadi. Mencari-cari apakah  ada satu lagi. Dari arahnya terlihat sebelah lagi. Tapi wujud dan rupanya tidak lagi bagus. Bagian depannya sudah bolong. Ujung besinya kembali mengais sepatu itu. Dicocokkan dengan sepatu awal tadi. “Alhamdulillah, cocok,” gumamnya. Ditariknya nafas dalam-dalam.  Digenggamnya kedua sepatu itu dengan erat sembari terengah-rengah menuruni gunungan sampah dengan sepasang sepatu tua bekas yang mendekap di dadanya menuju ke rumah reotnya. Hatinya berbunga-bunga. Kali ini perempuan setengah baya itu mampu memenuhi keinginan si buah hati, semampunya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :