Perang pun Kembali Berkecamuk

Di masa itu, kata orangtua itu padaku, golongan pergerakan yang dulunya mengatasnamakan rakyat melawan serdadu-serdadu bayaran neoliberalisme dan memenangkan dari kaum bayaran itu. Tapi tak berapa lama kemudian, setelah menjadi golongan berkuasa di tanah ini, maka segeralah kelakuan-kelakuan takabur dan riya menampak dan golongan pejuang itu pun terpecah-pecah.

Mengapa, Kek, hal tersebut dapat terjadi, tanyaku. Karena perut, jawabnya singkat. Pandangannya kembali menjejak arah utara di mana persawahan berundak-berundak seperti tangga-tangga yang sengaja dibuat tangan-tangan berbakat seni dengan indah sekali. Tapi, di masa itu, kami mengistilahkannya dengan nama materialisma. Memang, tambah orang tua itu lagi seraya menyulut rokok kreteknya untuk yang ketiga, musuh kita, manusia yang seharusnya hanya menginginkan hidup damai sesama manusia adalah takut mati dan terlalu cinta pada dunia. Nabi Muhammad pernah mengatakannya ketika beliau masih hidup. Dan, ketakutan akan kejatuhan martabat di mata sanak-keluarga, handai-tolannya, dan istri mereka yang cantik-cantik. Maka terjadilah pengebirian yang merajalela di mana-mana.
Kakek, aku tak mengerti maksudmu kali ini. Aku hampir benar-benar terpesona padanya. Tak kusangka, di tempat sunyi celaka ini, ternyata aku masih dapat bertemu dengan orang-orang macam ini, mantan kaum kiri yang kini kembali melarikan diri ke gunung-gunung, dan ke negara-negara di utara.

“Mau merokok? Silakan!” Tawaran si kakek kutolak dengan halus. Aku berdalih bahwa aku memang tidak merokok. Ia tersenyum. Namun, perlahan wajahnya ia dekatkan ke wajahku. Lakunya serupa orang yang hendak membeberkan rahasia besar. Para pemimpin kami yang berpengaruh saling berlomba mendapatkan proyek. Dan, untuk mendapatkan itu, mereka harus menerima konsesi dari pemerintah yang lalim yang dilakukan secara rahasia di Jakarta.

Kabarnya, setelah golongan pergerakan menguasai parlemen maka saat itu juga menjamurnya aksi kriminalitas? Kakek itu tertawa. Gelas berisi kopi dibawanya ke mulut, diseruput selekasnya, lalu ia berkata, beberapa proyek berhasil diketahui oleh para pejuang kelas paria yang banyak itu. Dan, mereka segera mengangkat senjata-senjata kiriman yang dibawa melalui Selat Malaka lintas Malaysia dari timbunan di lereng-lereng gunung.

Dan, luka tanah ini lagi-lagi menganga. Pemerintah goblok ini hanya melihat beberapa kasus kekerasan sebagai peluang membenturkan kepala antara sesama mereka, yakni si pengkhianat dan si pejuang rakyat. Tentu saja militer punya kepentingan yang jelas. Kau tahu mengapa? Di negera-negara seperti negara kita, negara ketiga, memang telah ditancapkan metode menancap kuku kekuasaan melalui aksi brutalisma dalam tata ukuran demokratisasi omong kosong. Demikianlah, tanah ini menjadi kuasa pasar dunia, neoliberalisme.

Apakah seperti Sabang yang kini kembali hendak dijadikan pelabuhan internasional seperti dulu-dulu itu? Si kakek tertegun rupa-rupanya. Lalu seperti ada sesuatu yang mencengkamnya secara menyakitkan; terbersit lewat kata-katanya, kau masih terlalu kecil kalau mengambil permasalahan itu. Saya katakan terlalu kecil. Sebabnya, karena daya penghancur kepada kita, dilakukan secara struktural oleh paham neoliberalisme. Tapi, kita, selalu sempit dalam melihat gejala-gejala awalnya. Seolah-olah etnosentrisma semata-mata, seolah-olah hanya hegemoni suku bangsa terbanyak atas suka bangsa minoritas.

Celakanya, para agamawan pun punya perspektif berbeda sama sekali. Perang yang kini kembali berkecamuk karena ketak-syukuran kita kepada Tuhan. Ditambah misi zending sebagai momok yang membuat kita sangat gampangnya untuk dibodoh-bodohi. Aku turun dari rumah panggungnya. Masih kuingat jelas wajah-wajah berbingkai mewah yang terpajang di ruang tamu; Dr. Hasan Tiro, Teungku Abdullah Syafi’ie, Teungku Ishak Daud, Teungku Usman Lampoh Awe, dan beberapa orang lagi yang pernah kubaca dalam sejarah pergolakan tanah ini di internet dan dalam arsip-arsip lama di markas. Sesampainya di kamar losmen kelas kambing yang kusewa di kota kecil ini, kurang lebih 70 kilometer arah timur kota Banda Aceh, segera kutuliskan laporan singkat kepada atasan atas nama sandiku; Nur el-Samir. Bravo, Pak. Orang-orang dan rumah-rumah di lereng gunung xvii harus segera disekolahkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :