Pada Malam Berikutnya

SIANG itu selepas pamit dari kampus aku membaringkan tubuh yang lelah diatas ranjang bambu yang tersusun sedemikian rupa. Wajah lesuh resah dengan mata memerah menatap loteng kamar kos.  Sarang laba laba bergelantungan tak beraturan. Telapak tangan kanan kuletakkan di kening yang berkeringat. Tidak juga pikiran ini tenang. Aku bangun dan menuju ke arah meja belajar. Segelas air putih sisa ku minum semalam sudah berdebu debu kecil. Seekor nyamuk tewas jatuh dalam air itu. Kasian sekali nasibnya. Mati tenggelam.

Berlama lama di kamar sudah menjadi kebiasaanku ketika pikiran sedang tak terarah. Selain laut sebagai tempat membuang suntuk sehabis bergelut dengan kesibukan dikampus yang semakin hari semakin membuatku tak betah.
Separuh rokok sisa semalam sebagai obat kala sakit gigi masih tergeletak di atas meja. Menikmati asap rokok itu, aku membayangkan masa masa kecil dulunya dikampung ketika pertama kalinya merokok dalam hutan kampung. Saat itu masih sekolah smp, kau bisa bayangkan sebatang rokok yang kami hisap bergiliran secara adil merata. Tiap orang menghisap tiga kali minimal. Tidak boleh lebih. Kami menghisapnya dalam-dalam. Bangga sekali bisa bersembunyi merokok di hutan karena tidak ketahuan sama orang orang kampung.  Kalau saja ketahuan sama orang orang kampung, maka aku pasti dipukul sama Ayah dengan rotan sebesar jempol orang dewasa yang telah di belah tujuh bagian. Atau kadang juga kena hukuman menimba air di bak mandi selama sebulan.

 Kupejamkan mata untuk membawa masalah ini ke alam mimpi. Alam yang membuat kau bisa dilanda kebahagian atau ketakuatan dengan mimpi mimpi itu. Apa kau percaya dengan mimpi mimpi dalam tidur kita akan menjadi kenyataan? Ah, tapi aku belum menemukan kenyataan itu. Kalau saja mimpi itu bisa dipesan di pasaran atau menelepon ke sebuah tempat seperti para orang kaya memesan makanan cepat saji untuk istri dan anak-anaknya, tentu aku akan melakukan hal itu juga. Mimpi itu kadang indah, tapi kadang bisa lebih buruk dari yang kau bayangkan.

Detak detik jarum jam membawaku larut dalam pikiran dengan seratus pertanyaan menggoda. Perut kosong keroncong hanya terisi roti kering Di dapur hanya tersisa nasi semalam, itupun sudah setengah basi. Tapi kalau dipanaskan sedikit saja, itu setidaknya bisa membantu perut agar tak banyak mengulah dan bersuara. Itu sering kulakukan saat saat masa akhir bulan.

Tidak sebelumnya aku berpikir akan mengalami hal ini. Harus melakukan dua hal sekaligus sebagai balasan akan apa yang kualami saat ini. Sebagai mahasiswa semester akhir, kehidupan menjadi seorang mahasiswa memang sangat kacau. Hari-hari yang disibukkan dengan penelitian dan bertemu dengan dosen-dosen yang angkuh sudah menjadi hal menakutkan. Belum lagi jumlah biaya hidup yang selalu bertambah. Di kampus, aku mengenal seorang perempuan bernama Husna. Dia orang yang taat beribadah. Hari harinya di kampus disibukkan dengan mengikuti pengajian di mushalla fakultas ketika tidak ada jadwal kuliah. Pertama kali mengenalnya dalam sebuah forum diskusi di kampus. Selepas itu berlanjut hingga kami sering bertemu ketika shalat zuhur tiba.

Hingga kemudian saling akrab, sebuah keberanian akhirnya harus kuutarakan tentang sosoknya yang lembut. Tentang wajahnya yang anggun. Wajahnya yang bersih seakan bercahaya kala ku pandang. Sampai ia tau tentang apa yang kurasakan pada hatinya yang lembut, tentang akhlak  dan budi baiknya, tentang etika dan cara ia berbicara. Dan aku, seperti seorang lelaki yang berjalan dipanas gurun pasir dan menemukan sumur air. Lega.

Malam itu tidak bisa membuat mataku terpejam. Selepas pertemuan dengannya tadi siang. Rasa ketakutan dan penasaran akan menerima jawaban darinya. Tentang rasa yang kualami. Detik jarum jam di kamar seperti berbunyi keras. Melawan kesunyian yang gelap. Ku lirik jam itu. Pukul setengah tiga pagi. Malam malam yang bingung yang membuatku penasaran. Biasanya, waktu seperti malam begini, Husna menghubungiku menyuruh shalat malam. Tapi aku tak pernah melakukannya.

Handphone diatas meja berbunyi. Tanda sebuah sms yang masuk. Aku mendekati meja dan membuka pesan masuk. Deg! Sms dari Husna. Rasa penasaranku akan jawaban darinya. Dugaanku.  Tapi ketakutan yang melandaku kali ini. Tidaklah kusangka sebelumnya akan terjadi seperti ini. Kubaca berulang ulang sms itu. Detak jantungku begerak cepat. Aku terdiam. Apa yang mestiku lakukan, bagaimana membalas sms yang bunyinya begini; “Abi dan Ummi menunggu kedatangan keluarga Abang Minggu depan di rumah Husna”.

Pikiran makin panik dan kacau. Di atas meja bertumpuk bahan tugas akhir yang belum ku rangkum. Besok harus bertemu dosen pembimbing, Minggu depan dia berangkat Haji. Sambil membaringkan tubuh di atas ranjang bambu, aku mengambil buku pinjaman dari pustaka kampus. Di sampulnya bertuliskan begini; “Berani nikah sambil kuliah!”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :