Yang Turun Ke Jalan-Jalan

MAKA mereka turun ke jalan-jalan, berteriak, memekikkan protes, berserapah, dan mereka lelah. Lalu  pulang, bertumpuk-tumpukan, bersepakat untuk kembali turun ke jalan-jalan di hari lain jika ada lagi kesalahan yang dilakukan orang-orang yang sebelumnya dipercaya membuat kebijakan.

Seperti itu. Selalu saja mereka peka terhadap kecurangan-kecurangan yang dilakukan pemerintah. Tentang apa saja. Mereka itu pemikir, mikir apa saja. Mereka memihak rakyat, kabarnya. Pelopor perubahan bangsa dan negara. Apabila ada kecurangan, mereka akan siap menapak di panas jalan.
Dan kemarin senja, di antara pikuk jalanan ibukota provinsi kami, dalam panas ruang kecil di satu sudut keramaian mereka berkumpul, dari pelbagai golongan. Terguncang jiwa mereka membaca berita di sebuah surat kabar paling besar di propinsi kami itu. Benarkah guru-guru sudah tak lagi perlu ditambah? Apa kabar temuan baru bidang ilmu? Dan mereka saling bertanya tentang perkembangan pendidikan untuk anak negeri. Pengetahuan itu perlu dikembangkan, karena ia berkembang. Dan pendidik yang telah ada, apakah mereka adalah guru-guru dengan ilmu yang selalu update? Sedang di banyak pelosok negeri sana media informasi yang mengirim kabar baru tentang perkembangan ilmu nyaris tak ada.

Itulah, mereka ketakutan pada nasib bangsanya yang akan kacau. Direncanakan akan dihentikan penciptaan pengajar, berarti akan terhentilah perkembangan pemikiran. Ah, mereka sangat ketakutan.

Seorang mahasiswa yang nampak lebih tua dari yang lainnya berdiri dengan penuh wibawa dan mulai membuka cerita. Dengan penuh semangat dikabarkan berita itu. Berkobar semangat pemberontakan di hati mahasiswa yang mendengar. Yang kurus di sudut ruang sibuk mencatat apa yang sedang disampaikan orator mereka. Si  gembul dan berkemeja lusuh yang dari tadi termangu mengusulkan diri menjadi penyiap properti apabila dibutuhkan, perempuan berkacamata yang duduk di barisan depan di kelompok perempuan mengusulkan diri menjadi penyiap konsumsi jika nanti kecapaian, yang gondrong dan amburadul sekali penampilannya meminta agar diizinkan baca puisi, yang berbaju koko biru bersepakat agar demonstrasi yang mereka buat nantinya ditutup dengan doa.

Malam-malam penuh persiapan. Pagi penuh kesibukan. Mereka berkumpul di pelataran gedung fakultas keguruan milik universitas  besar. Seluruh golongan dan ikatan, mereka satu dalam tekad menyerbu kantor Dinas Keilmuan Provnsi. Para mahasiswa terhubung bersama dalam perang yang manyangkut nama dan nasib mereka yang juga akan menyeret nama dan nasib ilmu anak bangsa, generasi penerus mereka. Bukankah negeri akan celaka jika anak bangsa hari esok lebih teruk pendidikannya dibandingkan generasi hari ini?

Dan mereka bergerak dengan dada gemuruh, guruh perjuangan berdentam di jiwanya, beberapa mahasiswa perempuan menangis haru, membayangkan kekalahan armada mereka, hancurlah sudah impian menjadi guru, terhentilah aliran ilmu baru. Seperti telaga di bawah bebukitan yang mengucurkan air dan menghidupi segenap tanaman petani juga mengiririmi saudagar air untuk mandi telah disumpal dengan sampah pikiran segelintir orang-orang berkuasa, pemikiran sebutir kepala yang bukan keluar dari cangkang pendidikan dengan alasan ekonomi daerah. Maka perlahan akan timbul kemelaratan, punahlah kehidupan sepanjang aliran air. Dan guru-guru adalah telaga itu, bayangkan, ah.

Mentari meninggi pelan-pelan, beberapa pingsan sebelum menaiki truk-truk pemberangkatan. Beberapa histeris dalam tangisan, yang lain memasang muka sangar, muka keberanian menentang pemikiran konyol beberapa batok kepala para pemerhati perkembangan pendidikan negeri ini. Batok-batok yang berpikir uang daerah habis demi membayar guru. Batok-batok yang tak mengira bahwa mereka dan berbagai kebijakan bodoh lainnyalah yang banyak meludeskan uang daerah itu.

Segenap mahasiswa mengenakan pakaian duka, membawa mayat, kafan, air, dan keranda pendidikan. Orator, korlap, dan beberapa yang telah dipersiapkan untuk berdiri di barisan paling depan terpacak dengan gelora perjuangan di garis muka, tak sabar hendak membela nasib anak bangsa dan masa depan pendidikan di tanah penuh kehormatan ini. Dan truk-truk mulai bergerak, mulai terdengar teriakan, serapahan, dan berpekik tanpa kelelahan. Mereka telah turun lagi ke jalan-jalan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :