Mereka Panggil Aku “Udin Pungo”

PAGI masih dingin menusuk tulang. Gunjingan ayam sedang memaki, aku terduduk di atas pratah yang telah membuatku terjungkir ke bawah kolongnya. Sinar mentari yang indah mengintip dari lubang dinding kamarku yang terbuat dari papan. Bak seruan, pagi memaksa agar mimpi segera menjauh dariku.

"Kenapa aku tak boleh sekolah, mak?" tanyaku pada emak yang sedang menjahit di ruang depan.
"Sudahlah. Jangan kau tanyakan tanyakan itu lagi. Setiap kau bangun tidur, hanya itu yang ada di kepalamu. Tidakkah kau kasihan padaku dan juga abimu yang hanya bisa memberikan kau dan adik adikmu makan?" sahut emak.
Jawaban yang keluar dari mulut emak pagi ini berbeda dengan hari hari kemarin. Biasanya, ia akan menimpaliku dengan cacian. Lalu menyuruhku kembali tidur atau membersihkan kamarku saat pertanyaan itu kulontarkan. Sedangkan abi hanya diam di atas kursi kerjanya, sambil menggunting celana yang sedang dipermak. Adikku yang berumur empat tahun sedang merengek rengek di kaki emak. Dia menarik narik kain sarung emak, meminta perempuan tua itu untuk menyuapinya makan.

Kunikmati hembusan lembut angin pagi di depan rumah, setelah mendengar ocehan emak. "Istana" kami lebih layak disebut weu leumo ketimbang rumah sekaligus kantor bagi emak dan abiku mencari nafkah. Kami hidup dari hasil menjahit orang tuaku yang pas pasan. Hanya cukup untuk memberi makan ketujuh orang anaknya, termasuk aku. Bahkan kadang kadang kurang. Untungnya, kedua kakakku tidak lagi tinggal di sini sejak mereka menikah. Aku tidak bisa lagi mencari pekerjaan yang layak. Pasalnya, aku hanya memiliki ijazah Sekolah Dasar. Aku pernah bercita cita menjadi seorang tentara. Tapi, sejak konflik berkepanjangan melanda kampungku, aku tidak lagi berani menjadi prajurit.

Kini, umurku sudah hampir 25 tahun. Aku hanya bisa berpangku tangan, mengharap belas kasihan dari kedua orang tuaku. Hanya kedua orang tuaku yang masih menganggapku ada. Bukannya aku tidak ingin bekerja, tapi orang sekampung terlanjur melihatku dengan ujung mata. Mereka menganggapku sebagai "sampah masyarakat" yang tidak berguna hingga enggan memberiku kerja apapun.

Harus kuakui, aku pernah berbuat kesalahan. Aku pernah menjadi seorang pencandu bakoeng. Bukan karena keinginanku sendiri untuk menikmati bakoeng ijo itu, tapi karena lingkungan sekitar memaksaku demikian. Kala itu, aku tidak memiliki kegiatan apapun. Orang tuaku tidak memiliki cukup uang menyolahkanku dan kakak kakakku. Makanya aku menjual "rumput Aceh" itu pada umur 17 tahun. Tujuanku hanya satu: membantu kedua orang tuaku. Aku sempat kecanduan pada barang daganganku itu hingga aku dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa selama dua tahun.

"Neuk, tolong belikan abi dua batang rokok. Selebihnya untuk rokokmu," pinta abi dengan suaranya yang ngebass, sambil menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah kusam padaku. Aku pun beranjak dari atas kursi bambu, berjalan di antara bocah bocah kecil berseragam sekolah putih merah dan hitam, juga mengenakan tas punggung beraneka warna dan corak.
“Udin pungo... Udin pungo...” teriak beberapa bocah yang berjalan dari arah berlawanan denganku.

Kuarahkan tatapan kedua mataku pada bocah bocah yang meneriakkan kata kata yang sangat kubenci itu. Kata kata itu seakan memaksaku kembali menjadi pungo. Kuberikan mereka senyuman kecil untuk berterima kasih atas apa yang mereka ucapkan. Karena kutahu mereka hanya anak kecil polos yang gampang menerima isu dari siapapun. Bocah bocah mungil itu berlari sambil tertawa saat kusunggingkan senyuman. Namun, ada beberapa di antara mereka yang ketakutan saat aku menatap ke arahnya. Bukan hanya anak anak bandal itu yang terlihat ketakutan, bahkan teman temannya yang tidak mencercaku juga ikut ketakutan sambil mengambil ancang ancang untuk lari.

"Dari mana anak anak bandal itu tahu aku pernah gila kalau bukan dari orang orang yang berada di sekitar mereka?" pikirku. Kulanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti, menuju ke salah satu kios di ujung jalan. Tepatnya, di samping panteu jaga. Dari kejauhan tampak beberapa bapak setengah baya nangkring di atas panteu jaga itu. Mereka sedang bersenda gurau sambil menikmati kopi pagi, kebetulan warung kopi berada tepat di belakangnya.

Selain memiliki pekerjaan pada siang hari untuk menafkahi keluarganya, mereka juga memiliki pekerjaan lain pada malam hari: meu upat. Beberapa di antara mereka adalah orang terpandang di kampung ini. Tapi, tetap saja julukan itu tidak menghalangi mereka untuk mencerca orang lain. Aku termasuk salah seorang yang sering menjadi pelampiasan kesuntukan mereka.

Masjid raya nan megah di beberapa puluh meter dari panteu jaga, menjadi saksi bisu cercaan mereka untukku. Celaan demi cacian pun terlontar setiap kali mereka melihat keberadaanku. Ditambah lagi tawa tawa mereka yang terdengar oleh telingaku, terasa bagai duri yang menusuk hatiku. Padahal, aku telah berusaha tidak bersuara agar mereka tak melihat keberadaanku. Tapi, tiap kali aku hadir, setan seakan membisikkan kedatanganku pada mereka. Bahkan, setanpun berteman baik dengan mereka. “Ngapain Din? Mau bakar rambut pakai panamas?” ejek salah satu di antara mereka, disambut gemuruh tawa yang membuat pagi ini tak terasa sejuk lagi.

Semua mata yang berada di warung kopi serentak menoleh ke wajahku, sambil menatap pada rambut tebal keritingku. Bahkan, penjual rokok pun ikut menertawaiku, walau hanya dengan senyuman kecil beraroma sindiran. “Panamas dua batang, lebihnya mild,” ucapku pada si penjual yang sedang merapikan buah buahan di hadapannya. Lalu kusodorkan uang lima ribu rupiah padanya.

Kulangkahkan kembali kedua kaki di depan mata yang terus memerhatikanku dari warung kopi. Aku mencjauhi hingar-bingar tertawaan yang berisi ejekan dari panteu jaga. Aroma bau selokan di bawah pos kamling seakan menjawab semua kejengkelanku pada mereka. Bau itu kuanggap sebagai aroma tubuh orang orang yang berada di atasnya. “Alahai Udin pungo,” kalimat terakhir yang menggema dari mulut bau mereka. Masjid raya yang mentereng di pusat kota perkampunganku, hanya bisa menatap kepergiaanku tanpa komentar apapun, atau mungkin ikut menertawaiku.

***
Keesokan paginya, aku diminta abi melakukan hal sama seperti kemarin: membelikannya rokok. Rintik hujan menemani langkah kaki ini mencari kios lain. Tujuanku, agar para sahabat setia setan di panteu jaga kecewa. Tapi nihil, kios lain belum ada yang buka. Aku terpaksa membeli rokok di tempat sama seperti kemarin pagi. Di bawah atap teras rukoh tempatku berjalan, bocah bocah yang kemarin mengejekku berteriak sama seperti hari hari kemarin.
“Udin pungo... Udin pungo...”
“Apa? Siapa yang pungo?” Bentakku.

Serempak mereka terdiam. Tak ada yang berlari karena ketakutan seperti biasanya. Bentakan itu spontan ke luar dari mulutku. Wajah bocah bocah bandal itu tampak pucat setelah mendengar teriakanku. Lalu, kulanjutkan kembali ayunan langkah mendekati penjual rokok kemarin. Setan seakan tak pernah lupa membisikkan kedatanganku pada sekutunya. Bapak bapak setengah baya yang nangkring di panteu jaga kembali mencercaku dengan kata kata yang membuatku geram. Kali ini, aku benar benar berang mendengar kata kata mereka; menghujamkan tuduhan padaku. “Apa lagi Din? Ka neuk tuba Abu ngeun rukok pue?”

Tapi, apa yang bisa kulakukan. Mereka orang tua yang tak tahu diri. Orang tua yang sering menuntut anak anak mereka menjadi orang baik, tapi tingkah laku mereka tak lebih baik dari sapi yang membuang hajat di jalanan. Apa aku harus melakukan hal sama seperti pada bocah bocah tadi? Pikirku. Tidak, mereka tidak sama dengan bocah bocah yang kubentak tadi. Lelaki paruh baya itu tak lebih baik dari binatang yang akan lari jika diteriaki. Kebanyakan orang tua di kampungku hanya tahu bagaimana meu upat, uang, dan menyembunyikan wajah buruk mereka di balik masjid.


Kosa kata Aceh
Pratah: Ranjang
Weu leumo: Kandang sapi
Bakoeng: Harfiahnya tembakau, tapi dalam teks ini berarti ganja.
Pungo: Gila
Panteu jaga: Pos jaga atau pos kamling
Mue upat: Menggunjing atau mencerca orang lain.
Panamas: Merk rokok lokal
Ka neuk tuba Abu ngeun racon Pue: Mau ngeracunin ayah menggunakan rokok apa?

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :