Keranda Haji Banta

TIDAK ada yang lebih ditakuti oleh Haji Banta selain keranda. Bahkan status haji yang baru setahun disandangnya tak juga membuat lelaki paruh baya itu berdamai dengan rasa takutnya. Padahal, rumah Haji Banta tepat di seberang meunasah dan dari teras depan rumahnya, keranda kebanggaan kampung kami terpampang jelas.

Dulu, saat Haji Banta belum berstatus haji; ketakutan lelaki itu terhadap keranda sempat menjadi desas-desus menghebohkan. Tidak sedikit para pemuda di kampung yang menggerutu karena Haji Banta selalu menolak jika diminta ikut membantu mengangkat keranda dari rumah duka ke kuburan desa. Aku yang saat itu berdiri di samping Teungku Imum hanya geleng-geleng kepala sambil menahan tawa ketika melihat wajah Haji Banta yang sepucat kafan. Saat itu, Teungku Imum meminta langsung kepada Haji Banta untuk ikut membantu. Seolah dikejar hantu, Haji Banta bergegas pulang dengan alasan sakit perut.
Dan setelah menjadi haji, kondisinya jelas berubah. Di kampung kami, menjadi haji berarti lebih dihormati. Bahkan, Teungku Imum saja belum naik haji. Pada setiap acara hajatan orang meninggal, orang-orang tidak lagi meminta Haji Banta untuk membantu membawa keranda. Malahan, Haji Banta lebih sering menggantikan posisi Teungku Imum sebagai imam shalat jenazah atau pun sebagai perpanjangan bibir syahibul bait untuk menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh khalayak atas dosa-dosa hablumminannas sekaligus menyinggung masalah utang-piutang si mayit semasa hidup.

Namun, Haji Banta akan menolak secara halus jika diminta untuk memimpin prosesi diturunkannya jenazah ke liang lahat. Pada setiap pemakaman, Haji Banta selalu terlihat berdiri paling sudut dan baru akan mendekat ketika jenazah sudah selesai dikuburkan.

Seolah sudah memaklumi keunikan sifat Haji Banta, orang-orang tidak lagi bergunjing tentang ketakutan Haji Banta terhadap keranda. Hingga pada suatu subuh, seluruh kampung geger saat salah seorang warga yang hendak shalat di meunasah menemukan Haji Banta dalam keadaan pingsan di teras depan rumahnya.

Setelah dioleskan minyak kayu putih dan mukanya dibasuh pelan-pelan dengan air, Haji Banta mulai siuman. Meskipun demikian, beberapa orang tetap diutus untuk memanggil mantri desa.

Kerumunan semakin banyak. Silih berganti para warga bertanya tentang apa yang sudah terjadi. Haji Banta hanya diam. Istrinya juga tidak tahu apa-apa. Berbaring dengan setengah bersandar, pandangan Haji Banta lurus ke depan dan sesekali, ekspresi wajahnya nampak kesakitan dan ketakutan. Melihat kondisi suaminya, istri Haji Banta menangis sesenggukan sambil terus memijit kaki suaminya. Aku bergegas bergabung dengan kerumunan.

Kulihat, Teungku Imum sedang merajah segelas air putih dan menyodorkannya kepada Haji Banta. Dengan patuh, Haji Banta meminumnya sampai habis. Perlahan, air mukanya berubah. Aku seketika merinding.

Agak sempoyongan, Haji Banta perlahan mencoba bangkit. Para warga kembali gaduh. Sedangkan di luar sana, ayam jantan tak henti berkokok. Angin menderu-deru dari arah persawahan desa dan langit mendadak menghitam. Hawa dingin yang berhembus memaksa orang-orang untuk lebih merapatkan lilitan sarungnya.

Haji Banta seolah tidak peduli. Tertatih-tatih sambil dipegangi istrinya, lelaki itu terus berjalan ke arah meunasah. “Keureunda lon ka trok! Keureunda lon…” Suara Haji Banta semakin melemah seiring tubuh tegapnya yang menggelosor dalam sanggahan istrinya. Bahu perempuan itu berguncang hebat. Air matanya seolah tak henti mengalir. Kami yang awalnya hanya berdiri terpaku kembali gaduh saat menyadari bahwa lelaki itu telah pergi

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :