Hantu Penunggu Rumpun Bambu

Kampung Meurandeh mencekam di malam hari, sejak tersiar kabar ada hantu yang keluar dari rumpun bambu selepas Maghrib. Bahkan setelah beberapa orang yang mengaku pernah melihat hantu itu, membuat warga kampung semakin percaya bahwa rumpun bambu yang terletak di ujung kampung itu benar-benar dihuni hantu tanpa kepala, bukan sekadar kabar isapan jempol belaka. Bahkan mereka melarang anak-anak mengaji di Dayah Teungku Majid, karena pulang larut malam.  Namun yang paling mengagetkan, sejak beredar kabar itu, orang-orang kampung mulai kehilangan binatang ternak di malam hari.  Ada pula kambing mereka yang disembelih dalam kandangnya. Pagi-pagi, saat mereka ingin melepas kambing dari kandang,  mereka menemukan isi perut dan kulit kambing itu tercampak bersama darah yang berceceran.

Namun bagi Dokahar  yang belum pernah melihat hantu itu dengan mata kepala sendiri, selain mendengar obrolan orang-orang di kedai kopi yang cukup gencar dalam beberapa hari ini,  ia ingin sekali melihatnya. Apa pun risikonya. Kalau perlu, berbicara langsung dengan sang hantu; apa kepentingannya menampakkan diri pada malam hari, yang akan menakutkan sekalian orang kampung. Tetapi, ketika hal itu ia bicarakan pada Cutlem, lelaki berewok itu cepat menyela, “Lebih baik, urungkan saja niatmu bertemu hantu. Itu kan hantu tanpa kepala. Saya khawatir ia akan meminta kepalamu.”

“Hahahaa.apakah kau percaya?” kelakar Dokahar terdengar keras, memekakkan telinga, membuat Cutlem naik darah, ingin saja meninju wajah sangar Dokahar hingga babak belur. Tapi Cutlem hanya memendamnya dalam hati, sambil meremas-remas jemarinya.

“Baik! Silakan, kalau memang kau berani,” ujar Cutlem kemudian, sambil meninggalkan Dokahar yang  sedang  menguras pikirannya menyusun berbagai rencana untuk bertemu dengan hantu penunggu rumpun bambu malam nanti.

Selepas Maghrib, ketika orang kampung sedang diselimuti rasa  cemas akan datangnya hantu ke rumah-rumah mereka meminta kepala, sebagaimana yang pernah dikatakan Cutlem, Dokahar sudah berada di sebuah gubuk reot di pinggir rumpun bambu itu. Ia sedang memperhatikan gerangan apa yang bakal  terjadi, bila hantu itu melihatnya terlebih dahulu atau saat ia bertemu nanti dengan hantu. Kalau memang hantu itu meminta kepalanya berarti itu hantu pengecut. Perampok saja main paksa, tak ada tawar-menawar dengan korbannya, mengapa hantu itu santun sekali, tidak langsung  mematahkan leher untuk mengambil kepala. Sungguh tak masuk akal, pikir Dokahar. Namun Dokahar semakin tercengang. Samar-samar ia melihat empat lelaki bertubuh tinggi keluar dari rerumpunan bambu itu. Mereka terus keluar menuju jalan kampung. Dokahar melihat di tangan mereka masing-masing memegang sebilah parang tajam  berkilatan. Ia mulai menaruh curiga akan kabar hantu penunggu rumpun bambu. Ia yakin bahwa kabar itu hanya ocehan para komplotan pencuri binatang ternak, untuk menakuti orang kampung.

Setelah memastikan bahwa keempat lelaki itu benar-benar  sudah jauh darinya,   Dokahar keluar dari  gubuk itu dan pulang ke rumahnya. Ia pun tak mengatakan  hal itu ketika istrinya bertanya pulang dari mana. Ia punya rencana  besar esok malam yang akan ia beritahukan kepada orang-orang kampung.

“Apakah kau yakin?” tanya Pak Geuchik, setelah mendengar perkataan Dokahar. “Iya, Pak Geuchik. Saya tidak mimpi. Saya melihatnya sendiri, yang keluar dari sana empat orang laki-laki. Jadi, kita bakar saja rumpun bambu itu. Tak ada cara lain. Tapi kita laksanakan ini dengan sangat rahasia. Jangan ada yang ada tahu selain sepuluh orang saja. Karena saya khawatir, pencuri itu ada di antara kita.”

 “Baik! Tapi bagaimana kita tahu bahwa sepuluh orang itu bukan salah seorang dari mereka. Atau malah, keempat mereka ada dalam sepuluh orang yang akan kita ajak.” “Gampang. Kita pilih orang yang pendek semua. Karena tadi malam saya lihat keempat mereka itu badannya tinggi-tinggi,” ujar Dokahar, sambil menungging senyum di balik bibirnya yang kemerah-merahan, bekas air sirih yang dikunyahnya.

Setelah terjadi perbincangan pada sore itu, atas perintah Pak Geuchik, Dokahar memilih sepuluh orang yang  akan melaksanakan pembakaran rumpun bambu, yang diduga tempat persembunyian para pencuri. Namun setelah rumpun bambu itu hangus terbakar, tak ada tanda penghuninya. Pada malam itu Dokahar pun kena cerca orang-orang. Bagi Dokahar, hal itu tak menjadi persoalan. Ia belum kehabisan akal, di arah selatan kampung masih ada serumpun bambu lagi. Lalu, “Bagaimana kalau kita ke rumpun bambu yang di sana?” ujarnya, “Yang di selatan kampung.”

“Kau saja, Kahar. Kami tak sanggup lagi. Ini sudah larut malam,”sahut mereka, yang membuat Dokahar kehilangan pengaruhnya bagi sepuluh orang itu. Mereka sudah cukup lelah pada malam itu. “Kalau begitu, mulai malam besok jaga malam. Tangkap siapa saja yang mencurigakan. Dan beritahukan kepada warga kampung bahwa hantu penunggu rumpun bambu itu kabar bohong dari pencuri kambing,” ujar Pak Geuchik.

“Benar, Pak Geuchik. Kalau kedapatan, pencuri itu kita gantung saja,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Jangan! Kita tidak boleh main hakim sendiri. Kalau memang pencuri itu kedapatan, kita tangkap dan serahkan ke polisi.”

Meskipun Dokahar agak kesal karena mereka tidak menyetujui pendapatnya membakar rumpun bambu yang terletak di selatan kampung itu, ia agak lega. Kini sudah ada jalan keluar untuk mengatasi pencurian dan kabar tentang hantu penunggu rumpun bambu.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :