Berganti Tuhan

BADAI baru saja pulang digantikan guyur hujan menderas. Kampung disusup dingin angin bak jarum-jarum centil yang menusuk hingga belulang. Namun malam tak sepenuhnya diam, ribut seketika datang memecahnya. Serombongan manusia bergerak dalam hujan, kuyup. Terlihat tiga, empat, lima orang lelaki bertubuh tegap mengiring langkah mereka, juga kuyup, rerata memegang parang. Samar sekali mereka terlihat. Namun di antara mereka nampak jelas sekali wajah beringas Geuchik Abdul Manaf, kepala kampung kami.

Memang, sejak siang Geuchik terlihat lalu lalang di sepanjang kampung. Konon beliau sedang mengumpulkan lelaki kampung untuk mengusir kelompok Ampon Tuhi, penghuni tanah kampung dekat kaki gunung yang kabarnya telah berganti Tuhan. Dan lagi yang membuat Geuchik gusar,  karena mereka juga ikut menyebarkan agama baru mereka secara diam-diam kepada warga kampung awam lainnya.
“Celaka dua belas, bang Samin! Jika memang benar mereka telah meninggalkan agama yang telah diwariskan panghulee Nabi dan berpindah ke agama lain, maka tentulah kampung kita ini akan terus ditimpa kemalangan.” Ujar Geuchik pada ayahku tadi siang.

“Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan, dek?” sahut ayah sembari menyulut rokok daun nipahnya.

“Saya berpikir sebaiknya kita usir saja mereka dari kampung kita ini, bang. Ah, mereka terlalu kelewatan, sudah. Agama baru mereka telah pula mereka coba tularkan pada anak-anak kita. Abang tahu, Abuwa Puteh telah juga berpindah keyakinan rupanya.” Sahut geuchik  menggebu.

“Adek tahu darimana? Apa benar?”

“Jeh, Bang Samin, apa kurang benar jika yang mengatakannya adalah si Adun, anaknya sendiri?” Raut muka Geuchik Abdul Manaf terlihat meyakinkan. Ayah menggut-manggut.

Setelah bertemu ayah dan mengajak pula tetangga-tetangga kami, Geuchik beranjak ke rumah Teungku Imum. Mungkin beliau juga akan mengajak Teungku Imum untuk ikut serta.

Lepas shalat maghrib angin mulai bertiup kencang. Beberapa rumah dicabuti atapnya, beberapa pohon terdengar berobohan, angin begitu beringas datang. Hujan masih mengirim rinai, dan dingin masih mencubit kecil kulit telanjang. Segenap pemuda dan para lelaki tua telah berkumpul di jambo jaga, masing-masing memegang puntungan kayu dan parang. Malam menjelma menjadi sebuah kengerian dalam bayangan. Kutaksir akan ada darah, ada kematian, ada tangisan histeris, ada wajah-wajah ketakutan. Sang Geuchik berjalan di depan bersama para tetua kampung, yang lain mengikutinya dengan jiwa tersulut kemarahan.

Sesaat saja angin berhenti, terdengar jerit dari kejauhan, sayup dan nyeri sekali. Perempuan-perempuan kampung bergegas keluar rumah diikuti anak-anaknya. Rerata menatap ke arah kaki gunung. Ada api berkobar, liar sekali. Lalu petir saling sambung, hujan tiba. Aku berlari ketakutan, masuk rumah lalu berselimut dan menangis. Hujan mulai menderas, suara ribut di luar memaksa batinku untuk sedikit mengintip kejadian lewat celah dinding kamar. Ayahku salah satu pemegang parang, beberapa dari orang yang diarak itu terlihat berdarah hilang daya. Sekali lagi petir keras terdengar, cahaya kilat menerangi wajah ayahku yang beringas.

Dalam ketakutan aku ingat ayah pernah mengatakan, orang yang berganti Tuhan akan disambar petir dan ayahku akan mencincang orang-orang yang mencemarkan agamanya. Ah, aku ketakutan sekali, andai ayah tahu aku pernah mendapat sesuatu dari Ampon Tuhi.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :