Rumus Caci Maki

Syahdan di sebuah negeri yang pada mulanya damai dan sejahtera, mendadak bertolak menjadi anarkis. Kerusuhan, kekerasan, tawuran, dan pengrusakan menjadi menu mencekam tiap harinya. Siapa pun pasti tak menyangka, negeri yang dihuni oleh orang-orang berbudi pekerti baik dan menjujung tinggi nilai-nilai moral mendadak berubah drastis. Tak ada pula yang menyangka, negeri yang terkenal dengan keramahan penduduknya kini ditelikung prahara dan huru-hara.
Usut punya usut, kekerasan itu bersumber dari sebuah biji. Entah darimana asal biji itu, persebarannya sangat cepat, pertumbuhannya begitu melesat. Bak virus yang menular, biji itu terus tumbuh, bercabang, berkembiak biak lalu menjangkiti orang-orang.

***

Aku mencaci. Kau balik mencaci. Kita saling mencaci. Satu caci. Dua caci. Banyak cacian. Tak terhitung berapa banyak cacian yang telah terlontar, kita terus mencaci hingga hati ini selayak kurcaci. Oh, oh, tidak! Kita tak lagi punya hati. Hati yang ada pada tubuh kita telah mati karena kita saling menyakiti, menyikut, dan melukai. Membunuh dan memangsa. Kita tak ubahnya seperti binatang. “Bukan,” elak binatang. Lihat! Binatang pun tak mau disamakan dengan kita. Katanya kita lebih liar dari mereka.

Dia mencaci. Kau balik mencaci. Kalian saling mencaci. Satu caci. Dua caci. Banyak cacian. Tak terhitung berapa banyak cacian yang telah terlontar, kalian terus mencaci hingga kulihat hati kalian mengekerut bak daun kusut. Layu, menguning, lalu terbang di bawa angin. “Pemimpin tak becus!” disahut “Rakyat merepotkan!”
“Bos kejam!” dijawab “Bawahan tak berguna!” “Guru galak,” dibalas “Murid nakal!”

“Perempuan binal!” ditangkis “Laki-laki liar!” Semua berperang kata. Semua melempar caci. Hingga tawur kalimat caci. Emosi menjadi-jadi dan akhirnya main fisik. Tak ada lagi keamanan. Suasana mencekam, kelam, buram menjadi santapan makan malam. Darah-darah bertumpahan. Bak keran air, terus mengalir tanpa kesudahan. Semua itu hanya karena sebiji caci yang sebenarnya tak jelas darimana asalnya. Biji misterius itu oleh beberapa orang yang dibawa, disimpan, dimasukkan ke kantong hati kemudian tanpa tersadari biji itu bertunas, berkecambah, tumbuh, dan berkembang biak. Subur.

***

Para ilmuwan dari berbagai bidang mulai meneliti biji caci. Mereka penasaran, mereka harus menemukan cara bagaimana mengendalikan persebaran biji caci yang makin membuat resah.

Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan mereka meneliti namun tak ada yang menemukan hasil. Para ilmuwan tertunduk lemas. Mata berkerudung merah. Raga meggendong lelah.

“Ah, mengapa tak ada hasil.”

“Dasar bodoh!”

“Kau juga tolol!”

“Diam! Kalian bodoh semua!’

“Memangnya kau sendiri tak bodoh?”

“Daripada saling mencaci lebih baik kerja”

“Ya, ya, ya ayo kerja lagi.” Semua ilmuwan kembali serius bekerja.

“Berhenti....!”

“Ada apa?”

“Iya kau menganggu saja!”

“Aku tahu bagaimana menghentikan kinerja caci!” seorang seorang ilmuwan bangga. “Benarkah? Bagiamana? Bagaimana?” sahut ilmuwan-ilmuwan lain.

“Bekerja,” jawab ilmuwan, mantap. “Bekerja?”

“Ya bukankah sewaktu kita kerja tadi tak ada caci yang terlontar dari mulut kita? Lalu, ketika kita tak lagi bekerja, kita mulai saling mencaci lagi.”

“Hmmm ... cukup masuk akal!” Mereka mengangguk-angguk. Lalu, mereka pun bekerja untuk membuktikan apakah kerja efektif menahan caci..”

“Berhenti! Bekerja memang bisa menghentikan caci, tapi itu bukan solusi. Bagaimana mungkin kita terus bekerja?”

“Lalu?”

Semua menggeleng. Semuanya terdiam. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan mereka berkutat mencari jawaban. Dan sampailah mereka pada sebuah kesimpulan. Dari kesimpulan itu tersusunlah beberapa rumus caci:

Aku mencaci. Kau diam. Cacian karam.

Kau mencaci. Aku diam. Cacian padam.

Kalian mencaci. Mereka diam. Cacian tenggelam.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :