Kemal dan Burung Garuda

DIA berdiri tegap di sudut tangga itu. Tertegun. Matanya sibuk melihat laju keras hujan yang jatuh dari langit. Gelisah seketika. Saat  kucoba mendekat—seolah dia tak mengetahui sedari tadi aku mengamatinya. Ia hanya bisa diam. Kembali dia melihat langit. Mendung pun tak tampak makin gelap mengikuti malam. Hujan semakin deras dan tak memperlihatkan tanda-tanda akan berhenti. Sesekali kilat menghujam. Gemuruh petir menyambar. Menggelegar.

Kemal, nama lelaki itu. Pemuda alim, dan sudah lama dia menjadi muazim di surau ini. Saat azan dikumandangkan olehnya, orang-orang kampung dengan segera menuju surau. Suara azannya begitu merdu dan indah. Dia pemuda yang cerdas. Tapi, dia tidak banyak bicara. Pendiam dan suka sekali dengan hal-hal yang bersifat kepemudaan. Iya, dia seorang yang nasionalis. Paling tidak, begitu kata Thalib untuknya.
Pagi itu, Thalib dan Kemal terlibat diskusi yang hangat sekali. Sebenarnya, tepatnya, kami bertiga. Tapi, aku tidak begitu suka bicarakan masalah politik. Tapi, mereka berdua kelihatan begitu bersemangat. Di mulai dari satu tema yang dipungut oleh Thalib dari Koran hari ini. tentang demo sekumpulan mahasiswa di kantor gubernur. Kata Thalib, demo itu diusung oleh sekaum yang tak suka dengan kepemimpinan kepala daerah ini. Lalu Kemal menimpalinya dengan bantahan yang bagus yakni tentang sebuah gerakan yang lahir memang dari keinginan kaum yang lemah. Aku hanya tertawa-tertawa saja.

Thalib yang merasa dikucilkan oleh tawaku merasa tak mau kalah. Dia lalu mengatakan bahwa demo itu bukan budaya orang Aceh. “Tak ada kata demonstrasi dalam kebiasaan masyarakat kita. Itu hanya cara negara orang. Itu produk yang dilahirkan oleh perang yang jahat.” Begitu kerap ucap Thalib dengan bangga. Maka perdebatan kembali manjadi menyenangkan. Si Kemal ternyata cukup tenang menjawab hal itu. Malah dia tidak bertanya masalah demo lagi. Kemal menyerang Thalib dengan pertanyaan yang mudah sekali. “Apa itu budaya dan apa itu kebudayaan, kawan?”

Thalib seketika. Dia mengilah. Bahwa hal-hal seperti yang dilakukan sekumpulan mahasiswa itu bukanlah pekerjaan yang lahir dari keinginan mereka sendiri. Perang memang telah membentuk sekumpulan orang yang bengal dan suka berontak. Tapi, kadang berontak lewat menulis puisi, novel atau essai pasti akan lebih etis. Setidaknya begitu kilah Thalib kemudian untuk berusaha membuat dirinya seolah menjawab pertanyaan singkat Kemal.

Thalib yang tak mau kalah itu balik bertanya ke Kemal. “Kau nasionalis bukan? kenapa garuda berpaling ke kanan? Mengapa dia lihat rakyatnya dengan mata sebelah? Bila kau berhasil menjawab itu, aku akan melakukan apa saja yang kau inginkan.” Sambil tertawa Thalib lalu pergi meninggalkan aku dengan Kemal.

Kemal  menaruh beban pikiran. Apalagi, sebelum Thalib pergi mereka juga sempat bercerita perkara bencana yang selama ini terjadi di nusantara. Semenjak kepala negara yang baru dilantik, mulai dari beberapa tahun silam, selalu bencana yang terjadi di negara ini. Yang terjadi pada nusantara akhir-akhir inilah yang kemudian membuat Kemal terus berpikir kalau mata sebelah yang diperlihatkan si garuda itu adalah bentuk pesimisnya. Tapi, entahlah. Kemal yang nasionalis ingin terus berpikir. Dia sangat mencintai negaranya yang indah dan megah ini. Dia bangga bisa lahir di negara seperti ini. Setidaknya itu yang dia pikirkan kala itu.

Kemal termangu. Dia benar-banar tidak paham dan tidak tahu harus membarikan jawaban seperti apa untuk Thalib. Memang benar adanya, Garuda sudah berpaling ke kanan. Dia memang melihat dengan sebelah mata. Tak ada yang berlebihan dengan itu, bukan?

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :