Wasiat Terakhir

KOTA ini telah mekar menjadi kota yang melenakan dan memabukkan bagi siapa puna yang mengunjunginya. Orang merasa betah berlama-lama mereguknya. Apalagi jika malam sudah menjelma, kota ini bak secawan anggur yang enak  dinikmati,  mulai sudut jalanan di depan gang sempit, hingga di kafe tenda, dan hotel-hotel berbintang.

 Gemerlap. Kota ini benar-benar telah disulap oleh walinya menjadi sebuah kota yang bertabur bintang. Padahal. Konon dulunya, kota  ini  sudah jadi puing-puing bak sampah raksasa, dengan ratusan ribu penghuninya raib ditelan gelombang besar. Smong—air bah raksasa-dalam hitungan menit telah meluluhlantakkan apa saja yang dilintasinya.
Konon lagi, tak seorang pun yang selamat dari amukan smong itu. Kecuali seorang lelaki tua yang sudah lapuk dimakan usia. Lelaki tua ini hidup terlunta-lunta selama berhari-hari. Sampai akhirnya dia ditemukan oleh sekelompok pendatang berbahasa asing. Beruntung, para pendatang asing ini menemukan lelaki tua ini di sudut sebuah bangunan yang sudah runtuh, dengan luka di sekujur tubuhnya. Lelaki tua ini lalu dirawat di rumah sakit lapangan yang mereka dirikan. Lambat laun, kesehatan  lelaki tua itu kembali pulih.

Para pendatang asing ini mengerahkan segala kemampuan untuk membangun kembali kota ini. Mereka begitu tersentuh dengan dampak prahara yang begitu dahsyat. Namun meraka juga merasa takjub karena menemukan begitu banyak bangunan berkubah dengan ciri khas bulan bintang di puncaknya-dalam keadaan masih utuh, seperti tidak tersentuh prahara besar.

            “Roger, kamu tahu, jika berpuluh tahun yang lalu, kota ini pernah diamuk perang?” cerita lelaki tua itu pada salah seorang di antara mereka. Lelaki tua itu ternyata bisa juga berbahasa asing, walaupun agak tergagap-gagap.

            Roger, salah seorang pendatang dari negeri asing itu mengangguk. “Kenapa mereka berperang, Pak Tua?”

            “Banyak alasannya. Ada yang mengatakan untuk mengejar mimpi.  Ada juga yang bilang untuk memperthankan harga diri.”

           Lama, Roger dan para pendatang itu mulai membangun secara bertahap kota yang hancur itu. Karena semua penduduk kota telah punah, kecuali seorang lelaki tua itu, para pendatang terus mengerahkan penduduk dari berbagai belahan negeri lainnya, untuk membantu membangun kembali kota yang hancur itu. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang bertahan dan tidak lagi kembali ke negeri asal mereka.

Beberapa tahun kemudian, lelaki tua terakhir yang hidup di kota itu menghembuskan napas terakhirnya. Namun, sebelumnya dia sempat berwasiat pada Roger, agar bangunan berkubah dengan bulan bintang di atasnya, jangan diganggu-ganggu. “Biarkanlah bangunan itu menjadi rahasia alam. Jangan dipugar dan disalahgunakan!” pesan orang tua itu.

            Roger yang menerima wasiat itu mengangguk sambil berjanji akan memperhatikan wasiat itu. “Tapi, kira-kira Pak Tua, apa sebenarnya yang menyebabkan banyak bangunan seperti ini yang tetap utuh dan seakan tidak tersentuh smong?” tanya Roger penasaran.

            “Karena bangunan itu rumah yang dimuliakan Tuhan.”

Roger, antara percaya dan tidak dengan penjelasan lelaku tua itu. Sampai berpuluh tahun kemudian—lama setelah lelaki tua itu meninggal, Roger mendapati dirinya telah berada di dalam bangunan berkubah itu. Roger mencoba mempraktekkan setiap gerakan seperti yang pernah diajarklan oleh lelaki tua terakhir penghuni kota ini. Ajaibnya, pelan-pelan— namun pasti, Roger seperti merasakan sesuatu yang lain. Hatinya terasa tentram dan nyaman. Sesuatu yang telah lama hilang dalam jiwanya. Roger sempat tertidur dalam bangunan berkubah itu. Sampai akhirnya dirinya melihat lelaki tua itu sedang tersenyum ke arahnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :