Samir

SAMIR melangkah pasti ke arah rumahnya. Tak menghiraukan gerak  orang orang lalu lalang. Kelihatan ia galau. Aku melihatnya untuk yang terakhir kali selepas kami pamit pulang setelah mengikuti mata kuliah bahasa Inggris. Bagi Samir, bahasa Inggris itu tidaklah penting dipelajari. Tapi matakuliah yang memaksakannya harus mengikuti sampai tuntas dan lulus.  “Itu bahasa orang kafir” begitu titah neneknya yang selalu menjadi alasannya.

Selang seminggu, aku tak melihat Samir di kampus. Beberapa kali aku ke kostnya di kawasan yang tak seberapa jauh dengan kampus. Kabar buruk kudengar, Samir menghilang selepas kami pulang kuliah. Sore waktu  itu hujan  deras. 
Aku sudah menghubungi orang orang terdekatnya. Menelpon keluarganya di kampung juga tidak mendapatkan kabar baik. Semua orang gundah dan rasa penasaran mencari keberadaaan Samir. Kalaupun dia diculik, belum juga aku mendengar kabar berita dari koran-koran kampung kami. Beberapa temannya di kampung bahkan membuat berita kehilangan lengkap dengan poto dan identitas dirinya. Selebaran orang yang hilang ditempel di setiap sudut kota dan kampus. Berharap ada orang yang melihat Samir atau bahkan kalau pun dia telah menjadi jasad, akan membuat hati dan pikiran kami sedikit lega. Beberapa teman dekatnya mengatakan kalau Samir menghilang karena dibawa makhluk halus semacam maop atau geuntet.

Sore itu ketika hujan deras, ternyata Samir tak berbelok ke lorong rumahnya. Ia berjalan menuju arah sungai Krueng Lamnyong. Desas sesus ini terdengar dari orang orang yang pernah melihatnya. Apa ia bunuh diri ke sungai? Tapi tak ada yang menemukan jasadnya  mengapung.  Atau bisa saja mayatnya dimakan buaya.

Menjelang dua minggu kemudian, kabar baik akhirnya kami dengar juga. Dengan wajah lusuh kami mendapatinya sedang duduk di sebuah batu di kawasan Pantai Ujong Batee. Sendiri berbalut baju kumal. Seperti penampakan orang gila kesannya. Seorang penduduk sedang mendapati Samir tiap malam juga mandi di laut ketika malam beranjak pagi. Ketika orang orang desa setempat bertanya Samir tak memberi jawaban yang pasti. Kadangkala ia menyebut sedang melakukan ritual empat puluh empat hari berturut-turut. Kadang ia beralasan untuk membersihkan dirinya dari berlumur dosa. Entah dosa seperti apa yang ia lakukan.  Sekali waktu ia juga menyebut, sedang ingin bertemu dengan putri bulan pujaan hatinya. Entah, kabar mana yang benarnya. Yang pasti, kala malam hari Samir mandi dengan badan telanjang bulat. Biar segala roh roh halus sedekat mungkin dapat merasuki tubuhnya. Itu beberapa alasan yang orang orang kampung mendengar cerita dari Samir. Sebagian lagi bahkan pernah menyebutnya sudah gila.

Ketika siang, Samir hanya mengemis sama penduduk setempat mencari makan. Kadang sama penjaja makanan di pinggir pantai ia membantu mengantarkan air bersih. Sedang ia mendapati jatah makan siang dan sebatang rokok pemanis.

Jenggot di dagunya semakin tak beraturan dan semakin nampak kotor.  Ia seperti orang yang kehilangan akal. Sebelumnya Samir adalah mahasiswa yang biasa umumnya, tak ada hal-hal aneh yang ia lakukan dikampus. Ia juga aktif berdiskusi dan mengikuti pengajian di kampus.  Aku mendekatinya sore itu bersama Rosna. Pacarnya. Kami mencoba mengajaknya berbicara. Tapi Samir seakan pura-pura tak mengenali kami, Rosna mencoba menawarkan sebatang rokok kepadanya. Rokok selera Samir dengan balutan ujungnya yang sedikit membesar. Entah apa isi didalamnya.

“bukankah kau yang dulu melarang aku merokok ini!?”  Rosna diam. Ditatapnya wajah samir dengan gelisah. Aku memandang kejadian itu dengan rasa penasaran. Tiga puluh menit mereka bersama, akhirnya mengantarkanku dan Rosna harus pulang segera. Samir tak mau di ganggu lama-lama. Begitu alasan yang kudengar dari Rosna. Sampai di tengah jalan, aku membuka pembicaraan kami yang lama terdiam.

“Kenapa Samir minggat dari rumah kost?” Lama Rosna terdiam. Aku mengulang pertanyaan yang sama. Hingga kendaraan roda dua yang kami naiki berhenti sejenak di pinggir jalan.

“Samir telah menghamili si Ramulah. Janda beranak satu yang menjadi tetangga rumah kontrakannya. Ia diminta menikahinya”.

Mulut Rosna merapat. Matanya merah menatap wajahku yang geram.   Lalu tertuntuk lesu. Kami berjalan lalu terdiam. Entah apa yang dipikirkan Samir. Senja perlahan turun. Kami berjalan lambat menuju ke Darussalam.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :