Senyuman Kopi Pahit Pak Guru

Rumah berhias bunga warna warni yang tegak di vas berbagai ukuran itu kelihatan asri. Tanaman bunga berjejer di beranda setinggi setengah badan, sedangkan sebagian lainnya    bergantung sepanjang tepi beranda. Sehingga rumah sederhana yang setengah berdinding papan itu tenggelam dalam lautan warna warni kembang. Belum lagi pekarangan rumah yang hanya beralasan rumput taman dengan ketinggian yang sama, terlihat seperti permadani hijau bertepi pagar bambu yang sudah mulai kelihatan lusuh. Di tengah permadani hijau itu,  berjejer rapi paving block selebar lebih dari satu meter menuju pintu depan rumah. Sedangkan di tepi-tepi pekarangan itu tumbuhlah tanaman tanaman obat dan bumbu dapur, seperti tanaman kunyit, kumis kucing, jahe dan tanaman dapur lainnya.
Sepintas bagi siapa saja yang menapakan kaki di rumah Pak Guru Susanto, akan merasakan kesejukan hati, lantaran suguhan estetika Pak Guru yang setengah baya itu  dalam menata rumahnya. Kesejukan hati terasa lebih melekat lagi,  bila mereka mendapatkan sambutan sebuah senyuman pak guru, yang gampang terlontarkan pada siapa saja yang berkunjung. Termasuk senyum tulus pak guru kepada Pak RW yang sekali sekali mampir di rumah teman kentalnya yang sudah bertahun dikenalnya, entah hanya iseng saja atau berdiskusi mengenai pembenahan kampung mereka. Mereka berdua sering berdiskusi dengan kentalnya, sekental kopi pahit yang mereka nikmati bersama sesudah selesai melakukan kerja bakti bersama.

Tak khayal lagi mereka berdua kini kembali berdiskusi, layaknya anggota dewan yang sedang mencari aspirasi guna memberi advisenya kepada pemerintah, seperti yang terjadi pada  Minggu pagi ini. Dengan beberapa teguk kopi pahit saja, pembicaraan mereka terkadang melebihi hasil studi banding wakil rakyat ke negeri seberang. Apalagi saat hari Minggu ini, beberapa fans pak guru murah senyum itu sengaja mejeng, mirip anak ABG gaul menunggu sang kekasih hati. Tentu saja Pak RW tidak ketinggalan pada suasana pesta kopi pahit di rumah pak guru itu yang layaknya menjadi ajang mendapatkan aspirasi untuk pembangunan wilayahnya.

“Agak lega pikiran saya, Pak Santo! Hujan sudah mulai berkurang, lantai rumah warga  sudah mulai kering. Tapi aku masih kuatir, kadang kadang hujan besar masih bisa turun. Kasihan warga yang rumahnya kebanjiran,” kepedulian Pak RW mengawali “pesta kopi pahit” kesukaan pak guru dan Pak RW. Sementara Pak Burhan, Pak RT kian akrab dengan singkong goreng dan kopi pahit yang menjadi menu yang cocok di  Minggu pagi yang masih digelayuti awan hitam.

“Pak RW! Aku setuju dengan gagasan yang digosipkan banyak warga, agar kita mem-planing-kan peninggian jalan dan pengerasan saluran warga yang sering mampat di sana sini. Karena yang aku takutkan hanya wabah diare dan virus tikus yang sering  melanda pemukiman yang banjir,”  pak guru dengan senyuman yang khas mencoba untuk menyemai gagasan kepada mereka yang duduk melingkar di atas kursi bambu, di bawah pohon mangga yang rindang.

“Aku setuju dengan gagasan pak Santo, hanya kendala kita tetap di dana. Keadaan warga kita yang pas-pasan jelas tidak mampu mendanai proyek ini,” jawab Pak RT.

“Itulah masyarakat kita Pak RT, bayangkan saja sebagian besar warga kita adalah warga tidak mampu, mereka hanya abang becak, pemulung, kuli bangunan dan pengemis, paling banter hanya buruh pabrik Padahal kita bermukim di atas kawasan banjir rob dan hujan. Aku sendiri sangat kuatir dengan penyakit penyakit itu. Bahkan sebagian warga kita sudah ada yang menderita gatal gatal. “ Seteguk kopi pahit, kini menyegarkan wajah Pak RW yang dilintasi perasaan prihatin.

“Yaah, itulah kampung kita, banyak sebenarnya yang harus kita perbuat, tapi bila kita saksikan betapa jatuh bangunnya saudara kita yang miskin, kita pun menjadi pesimis untuk membenahinya, “ pak guru juga mempunyai nurani yang sama dengan Pak RW.

“Contohnya aku Pak Santo”

“Aku tidak bermaksud menghinamu. Lho,  Pak Karim!”

“Memang itu kenyataan, Pak Santo, jadi aku tidak menganggap Pak Santo menghinaku. Sekarang abang becak sepertiku, tidak bisa menjamin penghasilan yang lumayan. Karena keadaan, tapi aku juga punya pendapat, lo !” Pak Karim tidak mau kalah dengan peserta pesta kopi pahit lainnya.

“Pendapat, apa Pak !” sahut Pak RW

“Meski aku hanya tukang becak, namun aku mau kalau tiap warga ditarik lima ribu per bulan”

“Ya, nanti di rapat RT tolong dikemukakan” pinta Pak RT.

“Bagaimana, Pak Santo?” kembali Pak Karim mencoba meyakinkan gagasannya itu.

    “Oh, itu gagasan yang menarik, Pak Karim. Hanya saja, jumlah warga di RW kita berapa ya Pak?” tanya Pak Santo pada Pak RW.

    “Sekitar 250 warga”

    “Jadi, tiap bulan kita hanya mampu mendapatkan dana sebesar kira kira satu juta lebih sedikit. Padahal wilayah 1 RW meliputi 12 RT, jelas kapan kita mau selesai. Dengan dana sekecil itu , saya kira kita belum mampu membenahi kampung kita”

    “Apa kita naikan menjadi sepuluh ribu, Pak ?”

    “Ah, terlalu tinggi, Pak Karim! Kasihan warga!”

    “Betul, Pak Santo, aku juga tidak setuju!’ Pak RW juga menyetujui pendapat Pak Santo, lantaran mereka tahu persis keadaan tetangga tetangganya.



    “Atau kita kerjakan semampu kita Pak RW, bertahan meski selesai beberapa tahun mendatang “ usul Pak RT

    “Memang, begitulah kemampuan kita Pak RT. Habis mau bagaimana lagi “

    “Aku juga sependapat dengan Pak RW, hanya saja iuran warga setidak-tidaknya disetujui semua warga. Tetapi kita harus juga mencari cara lain untuk membenahi kampung ini”

    “Pak Santo, punya ide lain?” tanya Pak Karim.

    “Ah, kita sudah terlalu serius, ayo dong habiskan pisang dan singkongnya!”
Pak guru yang murah senyum itu, kembali menawarkan suasana agar lebih rileks lagi, lantaran diskusi anak bangsa yang masih terjerembab dalam kehidupan yang pelik itu menjadi bertambah serius. Pak guru itu pun kemudian meninggalkan mereka sementara untuk menambah kopi pahit dengan sedikit gula, karena kopi yang ada dieskan sudah mulai mendingin.

“Ayo bapak-bapak, kopi pahit ini akan menambah gairah kita untuk menjual ide masing masing.” Ucapan dan senyuman pak guru itu disambut dengan suasana meriah dari yang hadir di situ.

    “Pak Santo ada ada saja!” Pak Kalim langsung menuangkan kopi panasnya ke dalam gelasnya yang sudah kosong.

    “He.he..terima kasih, Pak Santo” jawab Pak RW.

    “Ah, apa sih,  cuma kopi pahit saja, “ seloroh Pak Guru Santo, dan dilanjutkan dengan nada perkataan yang serius, namun senyum yang tulus tetap menggurati wajahnya. “Bapak bapak, kita harus berbuat sesuatu, tidak mungkin hanya dengan mengandalkan uang warga.” Pak Santo memang kelihatan sangat bergairah  mengentaskan lingkungan dan masyarakatnya.

    “Caranya, bagaimana Pak Santo?” Tanya Pak RT.

    “Pak Santo, dari semua warga di wilayah ini, hanya Pak Santolah yang berpendidikan dan berwawasan luas, sedangkan kami kami ini hanya tenaga kasar, pendidikan kami paling tinggi hanya sampai SMP, maka ide gagasan Pak Santo kami butuhkan.” Pernyataan Pak RW tersebut hanya disambut senyuman ramah Pak Santo.

    “Begini saja, bapak-bapak. Wilayah RW kita kan sebenarnya hanya korban dari pembangunan wilayah yang ceroboh. Kita perhatikan dahulu wilayah kita tidak pernah banjir, bahkan seluruh saluran warga bisa berjalan lancar. Namun sekarang akibat  pembangunan pabrik, hotel dan perkantoran yang semena-mena, wilayah kita menjadi tergenang.” Pak Santo dengan lancar dan berwibawa menyampaikan makalahnya pada semua hadirin pesta kopi pahit itu.

    “Terus, ide Pak Santo bagaimana?” Tanya Pak RW.



    “Kampung kita berhak untuk mengajukan diri sebagai kampung binaan. Nanti aku akan minta informasi lebih lanjut ke berbagai pihak. Terutama pengajuan proposal ke DPRD, agar mereka mendesak pemerintah daerah untuk membenahi kampung kita.”

    “Apa bisa Pak Santo, kita mendapat bantuan pemerintah?” tanya Pak Karim

    “Kenapa tidak? Hanya saja aku tidak berjanji, aku hanya mencoba mencari jalan keluar untuk kampung kita yang sebenarnya hanya menjadi korban pembangunan yang menepiskan keserasian lingkungan, habitat, dan drainase. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk ikut membenahi kampung kita, termasuk juga pengobatan masal oleh berbagai pihak. Dari tahun ke tahun selalu ada saja warga kita yang terkena penyakit DB, virus tikus, malaria dan lain sebagainya.” Pak Guru Santo tidak meneruskan  lagi orasi ilmiahnya. Seteguk kopi pahit memberhentikan orasinya itu, namun senyum masih saja menghiasi wajahnya yang dipenuhi guratan penderitaan hidup sebagai seorang guru swasta di kotanya.

Semua hadirin pesta kebun itu kini hanya mampu saling pandang satu sama lainnya, seperti tersesat kehilangan arah di tengah padang rumput. Sementara mendung di langit sudah terkikis dihempaskan angin tenggara. Tinggallah kini sengatan matahari yang berada tegak lurus di atas kepala mereka, pertanda mereka semua harus minta izin pulang. Rapat kopi pahit itu pun kini usai, namun masih menyisakan senyum tulus Pak Guru Susanto.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :