Kuda Putih

Madin mendatangi seorang ahli nujum di kampung Pualam. Dia berkeluh kesah mengenai  anak laki-lakinya yang saban hari duduk termenung di sebuah gubuk pinggir sawah di ujung kampung. Jika sore datang, sang anak  menunggang kuda yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Dia berlari-lari mengitari pematang sawah sampai menjelang senja. Saat Madin mengutarakan masalahnya, ahli nujum itu segera memberi tafsir, “Karena kau belum menunaikan nazarmu.”

“Saya tidak pernah bernazar, Teungku,” kilah Madin. “Menurut penerawangan saya, ada. Setelah bertahun-tahun kamu menikah tapi belum dikarunai anak, kemudian kamu bernazar, jika kamu dikarunai seorang anak, setelah kauazani pada kedua telinganya, ia kaubawa keliling kampung dengan menunggang kuda putih.”
“Tidak, saya tidak pernah bernazar, apa pun nazarnya.”
“Ya sudah, kalau kau tidak percaya akan penerawanganku, kenapa kau datangi pula aku.”

“Saya mau anak saya sembuh.”
“Tidak mungkin. Karena aku bukan dokter ahli jiwa, yang bisa menyembuhkan anakmu.” Perbincangan itu pun langsung terhenti. Madin duduk termenung mematung diri, sambil mengingat kembali ihwal penerawangan ahli nujum. Setelah ia berpikir-pikir, ia ingat-ingat ke semua peristiwa masa lalu, rasanya apa pun hasil penerawangan itu tetap tak mengena dengan apa yang ada di pikirannya. Bahkan hatinya sempat membatin, “Dasar tukang nujum, ramalannya seenak perutnya saja.”

Setelah menyelip uang dua puluh ribu dalam telapak tangan ahli nujum itu, Madin segera pulang. Terlalu sulit untuk dipercayai apa pun yang baru saja didengarkan. “Bagaimana menurut Wak Dolah?” tanya sang istri, ketika Madin muncul di ambang pintu.     
Kemudian Madin menceritakan sebagaimana yang disampaikan ahli nujum itu. “Coba kita datangi Mak Limah, siapa tahu lain lagi ramalannya,” ujar istrinya, “Jika ramalan kedua tukang nujum itu sama, baru boleh kita percaya.”

“Iya, benar juga pendapatmu, Bu.”
Pergilah Madin seketika itu juga, panas terik matahari tak membuatnya lelah menyusuri jalan kampung yang berdebu itu, sesekali ia usap keringat yang bercucuran di wajahnya. “Kau dulu pernah bernazar, jika anakmu selamat dari wabah kolera, kau akan menyembelih seekor kambing berbulu putih. Karena kau tidak menunaikannya, maka anakmu jadi gila,” ujar Mak Limah, ahli nujum yang kedua yang didatangi Madin pada hari itu. “Tapi saya tak pernah bernazar apa pun.”

Mak Limah menggeleng-gelengkan kepala, sambil tersenyum getir.    
Madin tetap tak mempercayainya. Tetapi, ke manakah ia akan pergi lagi untuk meminta petunjuk agar anaknya dapat disembuhkan? Hanya dua orang itulah yang dianggap Madin, bahkan orang kampung Pualam,  sebagai tempat mengadu jika tertimpa suatu kemalangan dari hidup mereka. “Tapi, saya lebih percaya pada perkataan Wak Dolah, yah,” ujar istri Madin, setelah Madin menyampaikan hasil penerawangan Mak Limah.    “Lihat saja, si Agam selalu menunggang kuda daun kelapa buatanya.”

“Iya...ya. Berarti, sekarang saya harus mencari kuda putih?”
Istrinya menggangguk.
                      
Keesokan hari, setelah mendapat petunjuk Wak Dolah,  Madin bersama anaknya menunggang kuda putih berkeliling kampung. Dan orang-orang pun bersorak-sorai seolah menyaksikan atraksi pacuan kuda. Namun tiba-tiba, kuda putih itu terperosok dalam lubang jalan. Dan, kedua anak-pinak itu pun terkapar. Mereka meregang nyawa. Menurut hasil visum seorang dokter, penyebab si anak mati, selain karena  terluka parah di bagian kepala, juga karena kelebihan menghisap ganja.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :