Bunga

HARI INI, genap enam bulan kita tidak berjumpa. Itu artinya, sudah seratus delapan puluh hari tidak pernah berbagi kisah lagi, seperti dulu kerap kita lakukan. Belum setahun memang. Bagi orang lain, ini mungkin perpisahan yang biasa. Enam bulan. Apalah artinya.

Apalagi di zaman secanggih ini. Dengan alat komunikasi, jarak terhapus. Jejak senantiasa terlacak. Dan, kisah pasti terus tersambung.  Hari ini, genap enam bulan kita tidak berjumpa. Di sini, ditempat dulu kita pertama bertemu, aku kenang lagi senyum mu itu. Dan, sejak itu pula, rangkaian kisah terus mengalir, seakan kita sepasang sejoli yang tidak terhijab oleh apa pun. Tidak ada ketabuan di antara kita, tidak juga tentang jejak sejarah yang amat kau kagumi.
Dan, ditempat ini pula, hari-hari berikutnya, kala pertemuan itu berlangsung, bendungan air matamu tumpah. Ada sesak yang teramat dalam terlukis di rona matamu— walau kecantikanmu mencoba menutupinya. Bahkan, senyum mu pun tak mampu mengelak apa yang sedang hendak kau sembunyikan dariku.

“Aku, aku...., aku.....” Sangat kelihatan betapa kau berusaha untuk memberanikan diri mengungkap semua. Tapi, isyarat telunjukku di bibir indahmu membuatmu terhenti.

Aku tahu, kau ingin sekali mengungkap semua. Tapi, aku cepat membaca gerak batinmu. Ku yakin, kau tak sedang kuasa mengungkap perasaanmu. Dari usahaku merangkai ungkapanmu dari waktu ke waktu ku tahu kalimat akhir yang hendak kau tegaskan.

Dan, sejak itu kita bersepakat tanpa mesti terkata. Kita bersetuju tanpa mesti saling memberitahu. Semua ini, karena kita merasa jarak hati kita telah menyingkap tirai rahasia jiwa. Ibarat aliran sungai yang bertemu dimuara laut, hati kita pun bertemu pada muara kata jiwa.

Hari ini, genap enam bulan kita tidak berjumpa.Di tempat ini, dulu sekali, kita juga pernah berjanji. Lagi-lagi bukan janji yang terkata. Tapi kita tahu itu terjadi dan kita tepati sepanjang hari dengan kesetiaan melebihi sumpah langit, juga bumi. Seperti pengembara di belantara hutan, setiap kali kita merapat dalam keletihan kata dan jiwa maka kita saling membasuh dengan aliran janji yang mengalir di hati.

Hari ini, genap enam bulan kita tidak berjumpa.Hari ini, masih ditempat ini, dirimu tak pernah ku lihat lagi. Tak ada tanda, surat, apalagi wasiat. Berkali-kali ku datangi tempat ini khususnya kala mentari tenggelam. Aku berharap kerinduanmu menatap mentari tenggelam mengantar kita bertemu, walau sekali saja. Aku ingin sekali tahu mengapa dan ada apa hingga diriku kau tinggalkan.

Hari ini, kau juga belum kutemui. Jejakmu hilang entah kemana. Padahal, aku ingin sekali berkisah tentang keraguanmu dulu.  Betapa kau ingin sekali melihat ceria kembali menghiasi senyum anak negeri. Dulu, betapa kau sangat yakin akan kedamaian negeri ini. Dulu, kau urai dengan khitmat rencana-rencanamu mengangkat harkat dan martabat mereka yang papa oleh tsunami dan konflik. Dan, dengan gagah perkasa kau ajak aku menata titian yang kuragui.

Hari ini, ku ingin sekali berkisah. Berkisah tentang bedil yang sesekali mulai lagi menyalak kala pagi. Berkisah tentang amarah yang kerap menyergap demokrasi. Berkisah tengang kepapaan yang tidak tersembuhi. Berkisah tentang rupiah yang merajai idiologi. Dan, berkisah tentang diriku yang tak mampu lagi, walau sekedar menulis opini.

Bunga..Hari ini, genap sudah enam bulan kita tidak berjumpa. Dan, hingga dini hari aku duduk ditempat ini kau juga tidak lagi kutemui. Dan, kini artinya sudah seratus delapan puluh satu hari sudah, Bunga.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :