Istiqamah

“MARTABAK duren?” seru Haris kaget. Jarum  jam tepat di angka dua pagi. Istrinya yang hamil lima bulan menohokkan permintaan aneh.

“Ya, pokoknya Adek ngidamnya martabak durian, terus penjualnya harus yang berkumis!” sahut istrinya setengah merajuk. Masya Allah! Dimana mencari martabak di pelosok kampung jam dua pagi dengan penjual yang harus berkumis pula! Kalau saja semua perempuan  ngidam punya permintaan semacam itu, tentu akan sangat merepotkan.
 “Adek, besok pagi saja, ya!” Haris coba bernegosiasi. “Nggak, pokoknya maunya sekarang!” rengek istrinya. Haris bingung jadinya, tapi ia sangat menyayangi sang istri, apalagi sedang hamil pertama. Ia kucek kembali matanya beberapa kali, agar kantuk yang menjalar di urat birunya memudar. “Tapi, sepertinya tak ada malam-malam begini, Dek!” sahut Haris coba mempengaruhi istrinya.

“Nggak, harus ada!” Kali ini malah beberapa butir air mata melintasi pipi sang istri. Tak tega juga   melihatnya. Haris yang bergelar sarjana itu juga paham kalau kebanyakan perempuan di negara berkembang suka berperilaku aneh kalau hamil. Sebuah fenomena yang tak lazim di negara maju. Dua pekan sebelumnya, tetangga Haris juga sempat memanjat pohon kelapa di tengah malam lantaran sang istri ngidam air kelapa.

“Baiklah, akan Abang carikan sekarang! Yang penting Adek jangan menangis, ya!” Haris pun bangkit setelah menyapu air mata istrinya. Segera Haris berganti pakaian.

“Abang!” panggil istrinya lagi, padahal Haris sudah hendak membuka pintu. Istrinya berjalan perlahan mendekatinya, Haris menatapnya. Sebuah ciuman mendarat di pipi Haris. “Hati-hati Abang, ya!”

Haris menembus pekatnya malam. Dengan bersepedamotor, dia  menyisir Kutablang. Dan ternyata  tak ada lagi warung malam yang terbuka. Hingga tiba ke Matangglumpangdua, beruntung masih ada kerlip lampu di beberapa gerobak penjual martabak. Haris memarkirkan sepeda motornya. Ia dekati gerobak penjual martabak durian. Ternyata yang satu ini tak ada kumisnya, nggak seperti yang diidamkan istrinya. Senyum Haris mengembang saat melihat seorang penjual martabak durian yang berkumis. Segera saja Haris mendekatinya. “Maaf, cuma satu lagi dan ini sudah ada yang pesan!” tutur si penjual. “Pak, tolonglah! Saya betul-betul sangat memerlukannya. Istri saya ngidam!” Haris sedikit mengiba dengan harapan penjual itu meluluhkan permintaannya.

“Maaf Pak, saya benar-benar tidak bisa. Ini dipesan oleh Pak Camat di samping rumah saya, dan beliau hanya mau martabak saya!” sahut si penjual.

Masih beberapa kali kembali Haris berkata, tapi si penjual itu tetap tak berubah. Ah, tak ada artinya! Haris pun mengenakan jaketnya kembali. Dia melangkah ke Kota Bireuen. Syukur masih banyak gerobak dorong yang buka. Biasanya tempat mangkal segala jenis martabak berada di deretan gerobak itu. Tanpa turun dari sepeda motornya Haris mencari penjual berkumis. Capai  dia  berputar. Bah! Tak ada seorang pun yang berkumis padahal berderet-deret penjualnya.

Haris melirik jam Alba di tangan kuning langsatnya, pukul tiga pagi. Dia menghela napas. Harus bagaimana ini? Apakah Aku pulang tanpa ada pesanan istriku? Tapi kasihan, ini ngidamnya yang pertama sekali selama ia hamil, tak bisakah aku, suaminya, untuk memenuhinya? Ah, mengapa Aku mudah menyerah, bukankah Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil! Maafkan suamimu ini yang hendak berniat menyerah!

Tanpa putus asa Haris menyusuri jalan hitam kembali, tujuannya ke Jeunieb. Sayang penjual martabak di situ sudah bersih lapaknya. Tak kenal menyerah Haris menuju ke Pandrah. Hanya seorang saja penjual martabak yang masih mangkal, alhamdulillah penjual itu berkumis. Tapi ia sudah membereskan dagangannya. “Maaf Pak, saya mau pulang!” ujar si penjual.

“Pak, tolonglah saya jauh-jauh dari Kutablang. Istri saya ngidam. Saya bersedia bayar berapa pun!” tawar Haris. Penjual itu diam, berpikir sejenak. “Tapi bayarnya 40 ribu boleh? Karena saya harus mulai dari nol!” kata si penjual itu. Seakan tak terdengar tentang harganya, melainkan bibir Haris terangkat ke atas beberapa centi. Dia tersenyum bahagia. Tanpa penawaran lagi, ia mengiyakan walaupun dengan harga di atas normal.

Dengan senyum yang terus melekat di bibir, Haris menenteng kotak martabak durian. Aura senang terpancar jelas dari air mukanya. Baginya membahagiakan istri, juga calon bayi di kandungan, adalah hal yang paling utama.

Haris telah memasuki kawasan Kutablang, kembali ia menoleh Alba di tangannya, pukul 4 lewat 30 menit. Dia berpacu dengan waktu. Sabarlah sayang lima belas menit lagi Abang tiba di rumah! Batin Haris.

Sebuah bus Pelangi melintas dari arah Timur, hujan yang tadinya rintik-rintik kini lebat menyiram Bumi.  Pelangi itu menyalakan lampu tembak tepat di hadapan Haris yang  membuat matanya jadi silau, ditambah jalan yang licin karena hujan. Haris yang hatinya kini berbunga-bunga  pun lepas kontrol. “Baammm.” Haris menabrak tiang listrik di tepi jalan. Dia terpelanting tak jauh dari sepeda motornya. Masih sempat ia meraih kotak martabak durian, dan ditaruh  di dadanya. Dengan lirih ia merintih di hati. “Lihatlah sayang, ini martabak untuk Adek tercinta! Maafkan suamimu ini yang tak mampu memenuhi permintaanmu malam ini! Tapi cintaku padamu  tak lekang hingga ajal menjemput.”

Pagi hari, jenazah Haris dibawa pulang. Ternyata, sudah ada  sosok lain yang terbungkus kain putih yang menanti di rumah. Istri Haris mengalami pendarahan hebat tanpa sempat dibawa ke rumah sakit. Malaikat Izrail lebih dulu memanggil sang istri  beberapa menit sebelum Haris tertabrak.

Sebuah tulisan tangan milik istri Haris ditemukan: “Maafkan istrimu yang aneh ngidamnya malam ini. Terima kasih atas cinta dan sayang yang telah engkau berikan selama ini. Kasih Abang tak tergantikan dengan siapa pun, untuk selamanya.”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :