Cinta

Tak ada yang bahagia di pagi itu.  Ting...ting. Suara lonceng kembali membuat hatiku jengkel. Ingin rasanya memaki mereka, namun wajahku telanjur diguyur air. Spontan aku duduk dan melihat seorang nenek tua berdiri di depanku.  “Sudah masuk waktu shalat nak, dari tadi bel sudah menjerit-jerit, tapi kamu masih saja ngorok.” Dengan hati yang menggerutu, aku berjalan seperti orang mabuk. Dengan mata setengah terpejam, kulihat orang-orang  sedang  antre,  sangat panjang barisnya. Di sana juga kulihat seseorang yang lagi duduk, tetapi tertidur. Aku tersenyum tipis, karena bukan hanya aku yang masih mengantuk pada pagi itu.
Tiba-tiba...”Dek, azan subuh sudah selesai tu, buruan wuduk  biar bisa ikut shalat berjamaah.” Sambil mengerutkan kening,  aku baru sadar kalau sekarang tidak berada di rumah lagi. Aku kini sudah berada di sebuah pesantren. “Oh, Tuhan,” pekik ku, tanpa kusadari puluhan pasang mata menatap ke arahku.  Aku masih tak habis pikir  mengapa orang tuaku bersikeras mengirimku  ke pesantren,  padahal aku enggak  ada niat sama sekali untuk jadi ustad atau apalah sebutannya.

Din, din, din. Dari depan pintu suara itu memanggilku, siapa dan orang mana itu enggak  penting. Yang penting, kini aku sudah punya teman. Seiring dengan berjalannya waktu, aku pun mulai bisa menyesuaikan diri dengan kenyataan yang kualami sekarang.

Persahabatan dan cinta  mulai ku kenal. Tak bisa dipungkiri bahwa aku benar-benar jatuh cinta pada seorang pengajar di pesantren, cinta yang membuat aku jadi lebih bersemangat untuk berangkat ke sekolah.

Sebulan terakhir ini aku mulai melihat perubahan pada diri sahabatku. Dia yang dulunya selalu memperhatikan segala hal tentang diriku, tapi sekarang cuek saja, seolah tak mengenalku. Suatu hari aku bertanya tentang perubahan sikapnya, jawabannya sepele saja.  “Ini masa penyesuaian”. Tak mengerti apa yang dimaksud. Aku pun  lebih memilih diam.

Senin kira-kira pukul 10.00 WIB, sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan asrama kami. Ternyata yang datang ayah sahabatku. Sambil memberi salam, aku bertanya maksud kedatangannya. Ternyata dia ingin membawa sahabatku pulang ke rumah mereka. Aku hanya terdiam melihat sahabatku memasuki mobil seperti orang tak berdaya.

Sudah seminggu aku sendirian di kamar, menunggu seseorang yang tak kunjung tiba. Sepi, sunyi, dan takut menyatu menyelimuti jiwaku. Lalu, aku mencoba untuk memohon petunjuk pada sang khaliq, apa arti kegelisahan hatiku ini.

Hari itu hari Senin, bertepatan setelah kami melaksanakan shalat zuhur berjamaah, aku menerima sebuah kotak dari seorang santri.  “Ini dari siapa?” tanyaku. Namun, tak ada jawaban sepatah kata pun. Dia langsung pergi begitu saja.

Karena penasaran dengan isi kotak, aku bergegas menuju kamar. Setelah kubuka ternyata isinya sebuah amplop berwarna merah. Hatiku makin penasaran dengan semua itu. Perlahan kubuka  amplop, yang isinya:

“Tiada yang abadi. Setiap detik selalu ada yang datang  dan juga ada yang pergi. Aku ingin sahabatku mengerti satu hal, “Tak ada yang tak mungkin”. Dulu kita selalu menghabiskan waktu bersama seperti anak kembar yang tak dapat dipisahkan. Aku ingat betul, waktu pertama kita jumpa, kita sering menangis karena kehabisan uang belanja.  Dan kita juga sering nakal di dalam kelas, bahkan hampir setiap hari berdiri karena tak bisa menjawab soal dari guru.

Hari ini, besok, ataupun lusa kenangan itu tak pernah bisa kulupakan, namun aku tak bisa menemanimu seperti dulu lagi.

Sahabat. Aku akan pergi untuk sementara, insya Allah di sana kita akan berjumpa dan melepas rindu yang tertunda. Amin.

Din, sebagai sahabat aku ingin kau mengetahui yang sebenarnya tentang diriku, aku sudah lama menderita kanker otak, tapi tak ada seorang pun yang tahu bahkan keluargaku sendiri.

Oh ya, sebenarnya ustad Rasyid itu abang kandungku. Ku tahu kau sangat mencintai dia, namun sulit bagiku untuk mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Bang Rasyid sudah dijodohkan oleh ayah kami dengan anak sahabatnya, tapi aku tahu kalau Bang Rasyid tidak menyukai gadis itu. Salam sahabatmu.” Aku menjerit  histeris karena tak percaya dengan kenyataan ini.

Setahun berlalu, kehidupanku mulai stabil, karena selalu  dihibur oleh ustad Rasyid dengan bacaan Quran dan hadits. Rasa cinta pun makin bartambah pada hamba Allah tersebut. Setelah dekat dengan beliau aku merasa nyaman dan damai serta bersemangat dalam menuntut ilmu-ilmu akhirat.

Senin pagi aku dijemput oleh saudaraku pulang ke rumah, aku heran kenapa aku tiba-tiba disuruh pulang. Sesampai dirumah, Subhanallah ternyata aku sudah dilamar oleh ustad Rasyid. Selang beberapa minggu kami pun menikah. Bahagia, haru, dan sedih bercampur jadi satu. Tersadar dari mimpi itu,  ternyata aku telah menikah dengan orang yang sangat kucintai. Puji syukur kupanjatkan kepada-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :