Di antara Dua Wanita

IA tergeragap, dengan cepat mengucap, “Ya, ya, indah sekali alam di sekitar sini. Pepohonan masih rapat, belum terjamah pembalakan liar. Pantainya masih bersih, belum tercemar, lembut riaknya; gulungan ombaknya telah diurai oleh pulau di sana sebelum sampai ke pantai. Mungkin tempat ini belum begitu dikenal.”

“Kenapa kamu sering tergeragap-seperti kaget ketika membalas komentarku tentang keadaan tempat rekreasi, setiap kuajak plesiran seperti sekarang ini? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu?”. “Oh, tidak, tidak; aku sering mudah hanyut ketika menikmati dan menghayati keindahan alam ciptaan Tuhan, seperti ini.”
Tak ada lagi kata-kata istrinya. Ia tak dapat menduga-duga, apakah istrinya percaya dengan apa yang dikatakan, atau malah mulai meraba-raba isi hati dan pikirannya. Ia sadar, jawabannya itu hanya basa-basi, bukan seperti apa yang sebenarnya ada di dalam benaknya. Dalam pikirannya, setiap ia diajak rekreasi dengan istrinya, seperti sekarang ini, selalu muncul bayangan almarhumah istrinya.

Meskipun ia telah berusaha untuk melupakan, menghapus dari ingatan, tetapi tak juga mampu, bayangan tak hilang-hilang. Bayangan selalu muncul, bersama munculnya rasa penyesalan dalam hatinya, “Sayang tidak denganmu, seperti apa yang kita angankan dulu,” setiap plesiran dengan isterinya yang sekarang.

Rasa menyesal, bersalah, dan kasihan pada almarhumah istrinya, mengaduk-aduk hatinya. Sejak nikah, ia belum sempat mengajak almarhumah istrinya, mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Bukan karena tak ingin, tetapi keadaan keuangan yang tidak memungkinkan. Bukan karena tak berpenghasilan, tetapi penghasilan yang pas-pasan sebagai pegawai negeri, yang mesti harus pandai-pandai mengelolanya. Harus memrioritaskan yang utama.

Ia selalu berkata pada isterinya, “Kita mesti hidup sederhana, menahan diri, untuk tak berkeinginan yang bukan-bukan. Target kita mesti punya rumah, mumpung anak-anak masih kecil-kecil, dan menyiapkan dana untuk pendidikan mereka, kelak.” Ia tak tahu, apakah almarhumah isterinya waktu itu bisa menerima dengan sadar dan ikhlas apa yang dikatakan, atau mesti dengan berat hati menahan perasaan.

Kenyataannya, seiring dengan perjalanan waktu, selama mendampinginya, sebagai istri dan ibu, tak pernah istrinya sekalipun minta untuk dibelikan ini dibelikan itu, meminta ini meminta itu.. Apalagi barang-barang mewah, seperti kalung, gelang, mebulair yang model-model; sepotong pun pakaian nyaris tak pernah. Kecuali kalau ia menawari; “Kebetulan ada rejeki sedikit, pengin apa?” Tetapi yang sering jawab istrinya, “Sini, uangnya saja, biar saya tabung, untuk anak-anak.”

Sesekali ia memang membelikan kuningan-perhiasan dari emas, tetapi nyaris istrinya tak pernah memakainya. Ketika ditanya, jawabnya selalu, “Untuk tabungan.” Barang-barang itu kadang sesekali dipakai juga oleh isterinya, ketika menghadiri kondangan, terutama kondangan ke saudara-kerabatnya. Dan kalau pas almarhumah isterinya memakai barang-barang itu, meskipun tidak ia tanya, menjelaskan, “Biar kamu tak malu, biar tak dikira tak memperhatikan aku.” . Kalaupun suatu ketika istrinya ingin memiliki sesuatu, sebelum membeli, mesti minta ijin kepadanya. Yang pasti yang dilakukan istrinya, tiap bulannya mesti membeli perhiasan. Meskipun bobotnya tak seberapa, hanya setengah atau satu gram. Katanya, untuk anak-anaknya, untuk tabungan mereka.

***

Selalu ada rasa bersalah ketika bersenang-senang seperti saat ini; “Maafkan aku Nia, bersenang-senang sendiri, tak denganmu,” katanya dalam hati. Ia selalu ingat dengan apa yang sering dikatakan kepada almarhumah isterinya, untuk membesarkan hati dan membangun harapan isterinya, “Kita sekarang prihatin, demi anak-anak. Siapa tahu, nanti, ketika anak-anak sudah dewasa, apalagi sudah sama berkeluarga; mudah-mudahan nasibnya baik, kita tinggal ngunduh hasil. Kita tinggal berdua, bisa ke sana kemari, plesiran, sepuas hati, seperti pacaran lagi.”

Ternyata garis hidup menunjuk lain. Menjelang terwujud impian dan harapan, ketika tinggal ngunduh hasil, tiga tahun menjelang pensiun, ketiga anaknya sudah bekerja, istrinya dipanggil Tuhan. Ia tak benar-benar percaya dengan kematian isterinya waktu itu. Bagaimana tidak; pagi masih sarapan bersama, malah dalam suasana hati yang bahagia, sore merasa demam, dini hari dipanggil Tuhan.

Ia ingat, waktu sarapan itu isterinya berkata, “Awake dhewe ora keno lali karo Gusti Allah, kudu tansah njaga rasa syukur; opo sing dadi kepenginane awake dhewe dikabulke. Bisa dhuwe omah, senajan mung cilik-cilikan, bisa nyekolahke bocah-bocah nganti sekolah dhuwur, ugo gampang oleh gaweyan sakwise rampung sekolah.” Ia ingat, komentarnya waktu itu, “Mergo njenengan gelem urip prihatin.”

Ya, ia ingat benar dengan kata-kata isterinya itu. Agar dirinya dan istrinya tak boleh lupa Tuhan, tetap menjaga rasa syukur. Apa yang menjadi harapannya dikabulkan. Bisa punya rumah, meskipun kecil-kecilan, bisa menyekolahkan anak-anak sampai ke perguruan tinggi, dan mudah mendapat pekerjaan setelah lulus.

***

Sesungguhnya ia sudah berniat untuk tak nikah lagi. Rasa bersalah dan sekaligus kasihan dengan almarhumah istrinya melekat dalam hatinya. Merasa belum pernah membahagiakan, dan kasihan, bila ingat keikhlasan berkorban sebagai istri sekaligus ibu anak-anaknya, belum sempat menikmati hasil pengorbanannya. Dan belum tentu, kalau nikah lagi mendapatkan perempuan yang pola pikir dan perilakunya sama dengan almarhumah istrinya.

Ia sering membayangkan, apa yang dirasakan almarhumah istrinya di liang kubur, ketika ia nyekar-mengirim bunga ke makamnya, “Bagaimana rasanya, Nia, di dalam kubur? Kasihan kamu, sendirian dalam senyap dan gelap. Kenapa kok kamu yang mendahului, bukan aku yang dulu.” Untuk mewujudkan niatnya, apa yang dimilikinya, yang diperoleh karena pengorbanan almarhumah istrinya, setahun setelah kematian istrinya, rumah dan tanah dihibahkan kepada anak-anaknya.

Dengan pertimbangan, mana ada wanita yang mau dengannya, laki-laki yang tak punya apa-apa lagi, kecuali hanya uang pensiun, dan itu saja kecil, karena pensiunan pegawai negeri biasa. Ternyata alasannya tak benar sepenuhnya. Beberapa temannya, juga saudara-saudaranya, yang kasihan kalau ia kesepian, yang berusaha mencarikan ganti almarhumah istrinya, menyampaikan, ada beberapa perempuan yang bersedia untuk dinikahinya, meskipun sudah diberi tahu bahwa ia sudah tak punya apa-apa selain uang pensiunan.

Tetapi ia mencoba untuk acuh. Meskipun kenalan dan saudaranya yang menawarinya mengajaknya untuk menemui dan berkenalan dengan wanita-wanita itu, tak ada niat sedikit pun untuk memenuhinya. Juga ketika ada wanita yang datang ke rumah, yang kebetulan ada hubungan saudara, yang dibawa oleh pamannya, tak juga menimbulkan krenteg dalam hatinya.

Tetapi entah kenapa, ketika ia berjumpa dengan wanita yang sekarang ini menjadi istrinya, dalam suatu acara kesenian di kota istrinya itu, ada yang bergetar dalam dadanya. Demikian juga apa yang dirasakan oleh istrinya waktu pertemuan pertama, yang diceritakan setelah nikah, “Begitu aku pulang, sampai pagar halaman, batinku bicara, ini jodohku.” Sejak itu komunikasi bersambung, saling membuka kartu, tak ada sedikit pun yang disimpan, saling mengungkap latar belakang, ada kecocokan, akhirnya sepakat untuk menikah.

***

Ia kembali tergeragap; “Melamun lagi?,” kata-kata istrinya menyadarkannya. “Yuk, ke sana, sambil minum-minum, menikmati alam,” hanya itu kata-kata istrinya. Ia merasa bersyukur, Tuhan menyayanginya. Memberi dua wanita, satu almarhumah isterinya, dan satunya, yang sekarang menjadi isterinya, yang sama baiknya.

Bukan ia saja yang merasakan. Tetapi juga saudara-saudaranya, “Bojomu sing saiki, ora bedho karo sing mbiyen. Grapyak, bisa ngumpul karo sedhulur.” Maksudnya, istrinya yang sekarang tidak beda dengan yang dulu, tidak tinggi hati, bisa bergaul dengan saudara. Juga para tetangganya, tentang isterinya yang sekarang, dengan komentarnya, “Kok persis ya, dengan Bu Nia yang dulu. Wajahnya dan kebaikan hatinya.”

Seperti juga apa yang dikatakan oleh salah satu teman dekatnya, “Kamu tak salah pilih, dari umur tak muda lagi, meskipun agak jauh beda denganmu, tingkat intelektual setara; jadi bisa ngimbangi dan memahami cara berpikirmu. Coba kalau kamu milih yang masih muda, bisa dibikin pusing.” Ia merasa tak memilih. Ia menganggap, tangan Tuhan ikut bermain. Sebab sejak dulu ia percaya, jodoh-rejeki-mati, di tangan Gusti Allah.

Ia tak mengingkari, istrinya sekarang memang baik hati. Bukan hanya baik, malah sangat baik. Tak berusaha untuk menguasainya, seperti apa yang dikhawatirkan oleh anak-anaknya ketika ia minta izin untuk nikah lagi, “Asal Bapak tetap ingat anak-anak.” Ia ingat, waktu itu, dengan penuh kejujuran dan kerendahan hati, wanita yang sekarang menjadi istrinya, ketika ia bawa ke rumah, untuk minta izin pada anak-anaknya, “Saya sadar, tak mungkin bisa menggantikan almarhumah Ibu. Saya hanya ingin mendampingi Bapak, dan menjadi sahabat anak-anak, mengantar anak-anak sampai menjadi orang tua.”

Tiap bulan ia diberi kesempatan pulang menengok anak-anaknya, diberi kebebasan untuk berkegiatan kesenian, mendatangi undangan di luar kota, tiap tiga bulan sekali diajak rekreasi. Kebaikan hati istrinya yang sekarang, yang memanjakan hidupnya, yang tak menjadikan hubungannya dengan anak-anak dan saudara-kerabat terputus, bukan hanya menjadikan rasa bersalah pada almarhumah istrinya, tetapi juga mulai tumbuh rasa bersalah pada istrinya yang sekarang. Apalagi, akhir-akhir ini bayangan almarhumah istrinya semakin menampak dalam benaknya.

Bukan hanya waktu rekreasi saja, tetapi juga saat-saat ia menjalankan kewajiban sebagai suami, memberi nafkah rokhani pada istrinya. Ketika sampai ke puncak rasa, tiba-tiba bayangan almarhumah istrinya begitu saja melintas. Ia ingin benar-benar menumpahkan cintanya kepada istrinya yang sekarang. Berusaha jemari hatinya melukis daun waru berpanah dalam lingkar rembulan warna biru di bidang sela kembar payudara istrinya. Tetapi selalu gemetar jemarinya.

Di keremangan senja, selalu melihat bayangan, percintaan masa silamnya dalam peta kenangan, menjebaknya dalam khayalan, dan ia selalu merindukan pertemuan. Ia merasa berdosa, menyia-nyiakan kebaikan hati istrinya yang sekarang. Yang memanjakannya, yang sepertinya berusaha sepenuh hati untuk menyenang-nyenangkan hatinya, agar merasa bahagia.

***

Ia tak tahu, siapa di antara dua wanita itu yang akan menjemputnya. Istrinya yang sekarang, kembali mengajaknya plesiran, kelak kalau ia sembuh, atau almarhumah itrinya. Sejak seminggu yang lalu ia terkapar di tempat tidur, menjalani rawat inap. Siang itu, begitu ia masuk rumah, dadanya terasa nyeri, dan nafasnya sesak.

Waktu itu, anak bungsunya yang baru saja pulang dari kerja, yang hampir bersamaan kepulangannya dengan saat kedatangannya, langsung melarikannya ke rumah sakit. Sejak sakitnya, nampak dengan jelas, meskipun dalam mimpi, almarhumah istrinya selalu menampakkan diri; dengan penuh gairah berusaha untuk mengajaknya pergi.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :