Nurul Hayati

Ia mengira, Teuku Muda Sulaiman memutuskan mengawani karena untuk menyelamatkan dirinya. Nurul Hayati yang memang tak lagi muda namun tetap menyisakan kerupawanan, akhirnya tahu juga perasaan laki-laki itu sesungguhnya. Sewaktu pihak hulubalang terdesak, seseorang datang kepada Abu panglima perang pihak paderi. Laki-laki itu melaporkan bahwa senjata-senjata jepang banyak digunakan oleh pihak sebelah sana. Sang komandan bermufakat segera dengan para pembantunya. Dan dengan cepat diputuskan; penyerbuan terakhir.

Kota Kewedanaan Meureudu telah dapat dikuasai oleh pihak paderi, juga Sigli. Surat dari Mr. Muhammad Hasan di Jakarta agar jabatan-jabatan pemerintahan diserahkan kepada kaum hulubalang telah lama disembunyikan. Hanya hulubalang di Lamlo yang belum menyerah. Mereka, para hulubalang di sana masih gencar mengirimkan surat undangan ke sekian kali ke NICA. Namun, laporan yang simpang-siur dari para paderi menyimpulkan bahwa 47 orang pengantar surat telah disembelih di pisisir timur dan 15 orang di pisisir barat.
Nurul Hayati yang cantik tidak tahu-menahu mengapa sang Abu hampir tiap malamnya mengumpulkan abu-abu dari dayah-dayah lain. Ratusan pemuda bersenjatakan senapan, pedang, tombok, dan rincong berjaga-jaga di luar. “Tentu putriku mau. Mau, saya ingin, kejadian tempo hari tak terulang lagi,” putus Abu Nurul Hayati. Semua turun dari seuramoe depan. Lelampuan dari putik ilalang gajah berpendar-pendar di tangan pengikut.

“Nurul, anakku sayang,” bujuk Ibunda di seuramoe tengah, “maksud Abu baik, Nak. Supaya kita tak lagi berbunuh-bunuh. Supaya pertumpahan darah ini cepat selesai.” Nurul Hayati hanya mengguguk di balik bantalnya. Telah lama ia dengar bagaimana hulubalang-hulubalang itu melakukan pekerjaan-pekerjaan nista. Merampas tanah rakyatnya sehingga sekeluarga akhirnya terusir.

Nurul masih tak lupa ia, bagaimana Teuku Ibrahim yang hitam dan muka penuh rambut itu mencoba merayunya di tepian sungai semasa akil baligh dulu. Tapi apa dayanya. Ia hanya seorang perempuan. Entah apa yang akan terjadi seandainya abu tidak datang secara kebetulan di sana.

“Apa akalku, Bang,” tanya Nurul Hayati saat ia menemui sang kakak. “Abu benar, Adikku. Tidak semua dari mereka seperti yang pernah kau dengar. Banyak juga dari mereka yang tidak mau masuk sekolah Belanda dulu karena mereka tidak mau menjadi kafir. Termasuk Teuku Muda Sulaiman.”

“Abang,” bisik Nurul Hayati setelah lama diam. Sementara bulan seperti bermuram durja. “Burukkah rupanya. Apakah seperti Teuku Saleh.” Maka tertawalah sang kakak. Teuku Saleh berperangai culas dan juga pendengki. Kulitnya kuning seperti gading. Matanya sipit. Namun, di dalam mata itu, orang akan menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Dialah ayah dari beberapa anak Abdullah, kaki tangannya. Juga salah satu dari sekian anak Thaleb, juga kaki tangannya. Pula Mahmud. Ruslan. Tapi, waktu itu di masa Belanda masih berkuasa di tanah ini, siapakah yang berani melawan. Orang-orang di kampung itu masih belum lupa bagaimana lima marsose membakar hidup-hidup Teungku Ahmad yang baik hati itu beserta keluarganya. Hanya karena Teungku Ahmad melaporkan perbuatan Teuku Saleh ke keluarga besar hulubalang itu.

Kini, Nurul Hayati sudah tua. Ia tidak beranak. Suaminya, Teuku Muda Sulaiman diculik sewaktu sang Abu naik gunung kembali menentang Soekarno. Beberapa pemuda kemudian melamarnya. Tapi, Nurul Hayati menolak mereka dengan halus. Sebab, Nurul Hayati masih ingat suaminya. Sosok yang santun, lemah-lembut. Rajin beribadah.

Ia buka surat terakhir yang masih disimpannya; Nurul Hayati, pujaan kalbuku, Kanda takkan pulang lagi ke hadapanmu sepertinya. Dua malam berturut-turut kakanda saksikan. Betapa darah terus tumpah. Agaknya benar kata orang tua kita dulu. Jikalau agama hanya kedok bagi penguasa maka tanah ini akan terus berdarah.”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :