Cerpen Cut Perbu

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Bruuum. Bus berjalan dengan mulus di atas aspal hitam. Para murid SMP Al-Fikri di dalam mobil mendendangkan lagu Bungong Jeumpa dengan semangat. Mereka akan pergi ke rumah Cut Nyak Dhien di Desa Lampisang, Kecamatan Lhoknga, untuk bertamasya. Tak lama, mereka pun sampai di rumah tradisional Aceh tersebut. “Jangan berpisah, ya! Kalau mau pergi ke mana-mana harus tetap sama-sama,” pesan Bu Fatimah, guru yang mendampingi mereka.

“Siap, Buuu!” koor para murid. Mereka memasuki rumah Cut Nyak Dhien. Berkeliling dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai akhirnya menemukan sebuah sumur. “Apa tuh, isinya?” tanya Mutia. “Ke sana yuk!” ajaknya..

“Yuk!” mereka pun melangkah menuju sumur tersebut. Mutia paling depan. Dia pernah mendengar sebuah cerita dari banyak orang, bahwa beberapa orang pernah terjatuh ke dalam sumur tersebut. “Eiiit!” Bu guru kaget melihat muridnya yang berkerumun di sekitar sumur. “Jangan terlalu dekat! Bahaya!” seru beliau. Mutia yang saking senangnya tak mendengar pesan Bu Fatimah. Dia menatap ke dasar sumur. “Haloo… ini Mutiaaa..” Mutia berteriak di dalam sumur. Suaranya bergema, berulang-ulang. Mutia terkikik-kikik.

“Mutia! Kata Bu Guru jangan terlalu dekat! Nanti jatuh!” Salah satu temannya mengingatkannya, sambil menutup sekeliling bibirnya dengan kedua jari telunjuknya, takut ada orang yang mendengarnya. “Enggak kok!” seru Mutia bandel. Dia tambah dekat lagi ke mulut sumur. Sampai akhirnya, Mutia nekat memasukkan setengah badannya dan kemudian terjatuh!

“AAAA!!!” Mutia berteriak. ZEP! Dengan sigap, seseorang temannya lengannya. Untunglah… Semua teman-temannya mengelus dada. Keringat Mutia bercucuran. “Sudah ibu bilang, kan! Kalau lihat sumur itu jangan terlalu dekat! Untung saja kamu tidak masuk ke dalam! Ucapkan terima kasih dulu pada Cut Perbu!” perintah Bu Fatimah.

“Haaa?” Mutia bengong. “Cut.. Per… Perbu?” tanya Mutia. “Iya! Dia yang sudah menolong kamu!” kata Bu Fatimah. Mutia menatap wajah Cut Perbu. Entah mengapa, Cut Perbu tampak senang sekali ketika melihat Mutia. Mutia pun mengucapkan terima kasih kepada Cut Perbu. Dia hanya mengangguk. Cut Perbu begitu cantik. Kulitnya yang kuning langsat dan juga bersih memberikan efek bercahaya.

Dengan cepat mereka melupakan semua kejadian itu dan kembali berkeliling di rumoh Aceh. Mutia dan Cut Perbu berjalan bersama sambil bergandengan tangan. “Cut, aku ingin sekali menuliskan sebuah kisah tentang Cut Nyak Dhien, tapi aku belum punya pengetahuan banyak tentang Pahlawan Nasional itu,” keluh Mutia. Cut Perbu tersenyum. “Mungkin aku bisa menceritakan sedikit tentang masa lalu Cut Nyak Dhien. Kamu mau mendengarkannya?” ujarnya. “Mau!” seru Mutia cepat. “Ceritakan padaku, mungkin akan jadi inspirasiku untuk menuliskan suatu kisah menarik tentang dirinya,” sambungnya.

Cut Perbu menceritakan kisah Cut Nyak Dhien, dari masa kanak-kanaknya, saat berperang melawan Belanda, membangkitkan semangat masyarakat Aceh, kemudian ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sumedang. Di sana, ia dititipkan oleh Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama. “Kamu tahu banyak,” puji Mutia. “Ya, begitulah,” jawab Cut Perbu. “Buatlah cerita yang bagus. Aku ingin kamu jadi seorang penulis. Kamu sering menang lomba membuat cerpen, kan?” Mutia mengangguk. “Pasti, akan kubuat untukmu.” “Kalau bisa, kamu buat cerita yang bisa menambah semangat orang Aceh buat berperang.” Pesan Cut Perbu. “Berperang? Memangnya masih ada orang Belanda, ya?” tanya Mutia nakal.

Cut Perbu tertawa kecil. Dia memukul pundak Mutia. “Maksudnya berperang melawan kebodohan. Soalnya, itulah salah satu impian Cut Nyak Dhien. Sekarang tidak ada lagi penjajahan Belanda, yang ada adalah penjajahan kebodohan.” Mutia yang tidak terlalu mengerti mencoba memahami maksud Cut Perbu. Dia heran, Cut Perbu tampak begitu dewasa dan berpengetahuan. “Masihkah kamu membaca puisi ‘Wanita Dari Lam Padang’? tanya Cut Perbu mengagetkan Mutia.

“Ya! Sangat suka!” jawab Mutia bersemangat. “Dari mana kamu tahu kalau aku sering membacakannya?” “Aku sering mendengarnya.” “Lho? Kapan?” Mutia tak percaya. “Setiap kali kamu membacanya, aku selalu mendengarnya,” kata Cut Perbu mantap. Mutia memang sering membaca puisi itu. Setiap ada perlombaan membaca puisi, dia selalu membacakan puisi karangan LK Ara itu. Bagian yang sangat disukainya ialah: ketika remaja/ia bukan gadis manja/ringan tangannya/bergunjing ia tak suka/tak sombong ia/tekun belajar agama. Bahkan, saking sukanya, dia sampai menghafal bait tersebut. Hihihi…

Setelah semua bagian dari rumah Cut Nyak Dhien dijejaki, mereka pun pulang. Sesampai di rumah, Mutia masih memikirkan Cut Perbu, beserta pesan-pesannya. “Bagaimana? Seru?” tanya ibu. “Ya. Sangat seru!” Mutia menguap. “Aku lelah.”

“Tidurlah,” ujar ibu. Mutia berjalan ke arah kamarnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Perlahan, matanya tertutup dan terlelap dengan cepat.

***

Mutia membuka kedua kelopak matanya. Lalu melihat ke sekeliling. “Kok?” Mutia bingung. Dia segera bangun dari kasur yang dia tiduri, menatap ke seluruh penjuru ruangan, serba putih, berbau obat, dan dia juga melihat beberapa wanita berbaju serba putih dengan peralatan medis di tangan mereka. “Aku, di mana?” tanya Mutia kebingungan. Ibunya memeluk Mutia dengan erat. “Kamu di rumah sakit Nak, tadi terjatuh ke dalam sumur.”

“Lho? Enggak!” seru Mutia sambil melepaskan pelukan ibunya dan melompat dari atas tempat tidur. “Aku selamat tadi! Ada yang menolongku!” Mutia menatap Bu Fatimah, minta dukungan. Tapi guru itu hanya diam dan tampak senang melihat Mutia telah sadar. “Iya kan, Bu Guru?” tanya Mutia. Bu Fatimah menggelengkan kepalanya. “Tak ada yang menolongmu.”

“Ada!” Mutia ngotot. “Cut Perbu yang menolongku!” serunya. “Siapa Cut Perbu?” Bu Fatimah keheranan. “Temanku! Satu sekolah juga! Kan Ibu yang kenalin dia sama aku tadi, di rumah Cut Nyak Dhien!” Bu Fatimah tertawa. “Ada-ada saja kamu! Tidak ada yang namanya Cut Perbu! Mungkin kamu mimpi. Di sekolah kan cuma ada tiga cut: kamu, Cut Meurah, dan Cut Khairani. Tidak ada Cut Perbu. Tadi kamu jatuh ke dalam sumur, lalu diangkat oleh beberapa pemuda desa pakai tali, lalu kami bawa ke rumah sakit ini,” jelas Bu Fatimah panjang lebar. Mutia masih bingung. Terbayang wajah cantik Cut Perbu di kepalanya, pesan-pesannya kembali terbisik dalam benaknya.

Segera dibukanya laptop dan internet, lalu dicari data tentang Cut Nyak Dhien. Saat membaca kisah Cut Nyak Dhien di Sumedang, Mutia terkejut, ada tulisan “Perbu.” Perbu merupakan bahasa Jawa, yang berarti ratu. Ibu Perbu artinya Ibu Ratu, merupakan panggilan akrab untuk Cut Nyak Dhien selama diasingkan di Sumedang. Mutia merinding sejenak, lalu meneteskan air matanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :