Khanduri Laot

Pang Laot mondar-mandir lebih sepuluh kali. Orang-orang sudah pening dibuatnya, karena terus mengikuti langkah Pang Laot dengan biji mata mereka. Sementara matahari telah turun ke beranda langit menyeruakkan garis-garis violet di ufuk. Awan hitam kemerahan memeluk sedepa dari kaki langit.

Telah lebih empat minggu musim angin barat menghampiri. Ombak yang bergulung-gulung setinggi pohon kelapa disertai jeritan histeris angin telah menyiutkan nyali kami mencari rezeki. Kata orang, cuaca terburuk dan terlama terjadi di tahun ini setelah entah sudah berapa lama tak kami alami. Laut biasanya cukup bersahabat. Paling-paling, angin barat hnya berlangsung dua mingguan. Akibatnya, saat ini hampir semua keluarga di Gampung Anoe berutang demi tetap mengepulkan asap dapur mereka.


Para tetua gampong telah duduk bermufakat beberapa malam lalu. ‘’Ini adalah pertanda khanduri laot yang kita buat seminggu lalu tidak diterima,’’ seru Pang Laot dengan mengacung-acungkan tangan kanan. Kedua matanya menyala.

Memang betul, khanduri laot tahun ini agak berbeda. Kerbau disembelih, tetapi tidak seutuhnya ditenggelamkan ke laut. Dagingnya dimasak dan dibagikan ke orang-orang terutama anak-anak yatim. Padahal, telah berabad-abad lampau, khanduri laot tidak pernah dikaitkan dengan makan-makan. Kerbau jantan itu disembelih, darahnya ditampung, lalu dileher kerbau digantung sebuah batu sebesar kepalanya sendiri. Dengan menggunakan perahu mesin, kerbau dibawa ke tengah laut di tempat tertentu dan ditenggelamkan di sana beserta darahnya. Walhasil, laut tidak pernah mengamuk. Ikan melimpah didapat nelayan.

‘’Kita harus membuat khanduri yang lain. Suruh orang-orang mengumpulkan uang untuk seekor kerbau.’’ Desahnya ragu. Orang-orang masih terdiam. Pang Laot membuang muka, tak tega melihat mata-mata putus asa anak buahnya. Ia tahu, orang-orang ini, sama seperti dirinya. Jangankan  mengumpul uang untuk seekor kerbau, untuk makan sehari-hari saja telah banyak berutang. ‘’Apa tidak ada jalan lain, Pang?’’ tanyaku.

‘’Jangan tanya padaku, gunakan kepala kalian untuk berpikir,’’ ketusnya.

Senyap suara-suara kami, namun deru ombak menghantam-hantam pasir terus bergemuruh. Seakan tugasnya belum selesai sebelum Bumi tempat kami berpijak ini terbelah dua atau hancur berkeping keping.

Orang-orang tak keberatan mengadakan khanduri lagi. Namun, dari mana mendapatkan uang seharga seekor kerbau? Dari kabar yang kudengar, dari cerita seorang kakek yang telah hidup hampir satu abad, kejadian semacam ini pernah dialaminya sewaktu ia masih kanak-kanak. Waktu itu, orang-orang mengorbankan seorang anak muda yang sehat dan baik hati. Sekejap setelah korban di serahkan ke laut, ombak padam bagai bohlam yang ditekan saklarnya. 

Maka, dicarilah siapa kira-kira yang bersedia mengorbankan diri untuk ratu laut yang sedang gundah. Meski tengku Imum Syik nyata-nyata melarang perbuatan yang katanya syirik itu, orang-orang yang kelaparan itu telah buta matanya dan tuli telingya kepada hal-hal logis.  Dalam kepala mereka hanya  ada: Bagaimana cara mendiamkan laut agar bisa mencari ikan.

Tanpa kusangka-sangka, menurut analisa orang-orang, aku memenuhi syarat menjadi korban. Dan mereka yakin setelahnya, laut akan tenang, dan nyawa-nyawa di Gampong Anoe akan selamat dari kelaparan.

Telah seminggu aku diberi waktu untuk mengambil keputusan. Suaraku akan membuat mata-mata redup itu bersinar ataupun sebaliknya.  Malam ini, disaksikan bulan yang sudah purnama dan orang-orang kurus kering itu, Pang Laot sedang menunggu keputusanku.  Aku tak kuasa menatap mata-mata cekung itu. Orang-orang seperti mengharap belas kasihanku. Aku bak raja yang diminta memutuskan sebuah perkara pelik, duduk dilingkari para pengawal dan rakyat jelata.

Laut kian ganas memamerkan keangkuhannya. Namun begitu, laut yang tak bernyawa itu malam ini seakan sedang menunggu sepatah kata dariku.

Lidahku masih kelu. Duduk menekur pasir, memainkan butir-butir halusnya dengan jemariku. Aku tak punya ayah atau ibu yang akan bersedih kehilanganku. Aku tak punya saudara, paman, bibi, kakek, yang akan menangis bila aku mati. Aku hanyalah yatim piatu yang ikut orang-orang melaut sekadar mendapatkan sesuap nasi. Kehidupanku tak begitu berarti buat orang-orang. Kematianku tak akan ditangisi. Mungkin inilah saatnya aku memberikan hal berharga buat orang banyak.

Orang-orang telah lama menunggu. Aku adalah pesakitan yang tak kutahu apa reaksi penduduk kalau aku berkata tidak, seperti saran Teungku Imum Syik. Karena di antara para warga lain, Teungku Imum Syiklah yang menguatkanku untuk melawan kesyirikan ini. Tapi,  apa kata orang-orang nanti? Lagi pula aku tak yakin akan selamat bila aku berkata tidak. Orang-orang yang sudah kehilangan asap dapur itu, juga kurasa telah kehilangan kewarasan.

Aku berdiri, menarik nafas dalam-dalam seakan ini adalah nafas terakhirku. Menghembusnya pelan. ‘’Baiklah, bapak-bapak sekalian. Saya tidak punya pilihan lain,’’ pasrahku.

Orang-orang berseru girang, bahkan sebelum kalimatku selesai. Aku h diangkat tinggi-tinggi. Purnama di atas langit seakan tersenyum.  Kulihat Teungku Imum Syik beranjak dari tempatnya. Pelan ia berlalu menjauh. Sorot  mata kecewanya sempat kutangkap meski ia berusaha menghindar tatapanku. Maafkan aku, Teungku. Lirihku.

Tiba-tiba saja aneka bunga-bunga telah mengalungiku. Pakaianku diganti dengan pakaian baru yang tersetrika rapi. Sekujur tubuhku dipercik minyak wangi. Kepalaku dipasangkan kopiah meukutop, entah dari mana asalnya. Kakiku yang telanjang dipasangkan sepasang sepatu mengkilap. Antara heran dan bingung, dari mana orang-orang mendapatkan barang-barang mahal ini, padahal dapur mereka telah lama padam.  Sebagai yatim piatu pun,  baru kali inilah aku mendapat perhatian luar biasa dari masyarakat.

Aku diarak ke pantai, lalu dengan susah payah dinaikkan ke atas perahu. Sebuah batu yang telah diikat tali plastik didudukkan di sebelahku. Perahu mesin melaju tergesa-gesa, hantaman ombak berkali-kali hampir membalikkan perahu itu sebelum sempat melaju. Hanya aku dan Pang Laot di dalamnya. Tiba di tengah laut, tempat membuang kerbau beberapa minggu lalu, perahu dihentikan. Tubuhku dan Pang Laot telah basah kuyup sejak hendak menaiki perahu. Jantungku berdegup kencang. Inilah akhirku. Aku tak tahu apakah setelahnya  akan terlempar ke neraka,  karena mengikuti kemauan orang-orang tak waras ini, atau Tuhan akan mengasihiku karena niatku menolong orang-orang? Entahlah. Aku memasang kalung batu itu ketika Pang Laot diam menatapku. Lalu, tanpa basa-basi aku melompat ke dalam laut yang diiringi tatapan tak kumengerti darinya. Entah dia menyesali atau malah menyuruhku cepat-cepat melompat.

Lantas, aku merasa duduk di sebuah singgasana berukir-ukir dan berkilauan. Emas dan permata menghiasi setiap sudut ruangan ini. Agak risih, dan belum terbiasa dengan keadaan semewah ini. Aku sampai berkeringat. Padahal, ruangan ini sangat sejuk. Ada beberapa pendingin ruangan di dindingnya.

Sementara orang-orang di Gampong Anoe masih murung setelah menemukan jasad Pang Laot beberapa hari kemudian. Perahunya hangus terbakar.

3 komentar:

  1. mampir disini merefresh otak dengan membaca Cerpen Karya Aneuk Aceh.. nice post sob :)

    +1 and happy blogging aja deh.. :D

    BalasHapus
  2. menghabiskan waktu sejenak sambil membaca cerpen ini.. dikirim ke jawapos ngga nih ? hehe

    BalasHapus
  3. Akhirnya segar, aku baru baca yg seperti ini.

    BalasHapus

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :