Di Bawah Pokok Rumbia

SUDAH 12 tahun berlalu, Emak belum bisa melupakan kejadian itu. Pada pagi yang dingin, Bumi masih temaram, embun belum sepenuhnya dilumat mentari. Separuh hidup Emak hilang bersama letupan itu.

Hingga kini tiap usai bersembahyang Subuh, seakan peristiwa itu selalu terulang. Emak tak kuat mengusir kisah pahit yang telah terpahat di hati tuanya. Emak tahu suara siapa yang mencaci Ayah dengan kata-kata cuak, sebelum selusin peluru menembus dada, paha dan lambung laki-laki yang terkasih itu. Dan kini negeri sudah damai. Tapi hati Emak belum, separuh hidup yang pergi tak akan kembali.

Aku kerap melihat Emak bicara sendiri di atas sajadah lusuh setelah sembahyang subuh. Emak sesenggukan dalam tidur,  meronta, tangan menggapai-gapai seperti hendak melepaskan diri dari monster pemangsa. Hatiku remuk redam melihat Emak dalam kesedihan panjangnya. Setelah Ayah meninggal, seolah dunia menjadi mati. Tak ada yang mampu meredam duka.

Sedangkan pemerintah hanya mengganti dengan rupiah. Mereka mengira uang bisa mengembalikan nyawa yang hilang. Padahal, tidak sama sekali. Emak hanya sekali menerima uang yang mereka sebut dana diyat, selebihnya tidak. Bagi Emak kematian Ayah tidak bisa dinilai dengan uang. Emak hanya ingin ada hukum bagi mereka yang zalim kepadanya. Tapi kapan? Berharap kepada pemerintah layaknya menunggu bulan turun ke bumi. Mustahil. Emak dan beberapa  perempuan lain yang suaminya mati ditembus peluru berkali-kali datang ke Kutaraja, bermandi peluh dalam sengatan matahari, membiarkan tubuh dipeluk angin pada malamnya. Harapnya pada keadilan tak jua datang. Emak lelah dan menyerah.

Kini hasrat melihat pembunuh suaminya dihukum dibuang jauh dari kepala dan hati. Keadilan sebenarnya hanya ada pada Tuhan, bukan pada manusia ini yang serakah. Mungkin pemangku kekuasaan di negeri ini bagian dari mereka.

Subuh menjadi waktu yang selalu dinanti-nanti Emak. Ada kisah yang ingin selalu dikenang  saat pagi mengusir gelap. Adalah adegan pembunuhan suaminya oleh lima pemuda sekampung, berbadan tegap, sepatu hitam, parang dan senjata panjang digenggam erat. Mereka menyeret Ayah dari kamar mandi saat mau mengambil air sembahyang, dibawa ke bawah rerimbun pokok rumbia belakang rumah. Di sana, Ayah dipukuli dan ditembak. Darah muncrat dari keningnya, lengan terpisah dari badan, kopiah melekat meski kepala Ayah ditetak dengan parang legam.

Mendengar dentum senjata disahut erangan Ayah, secepat kilat Emak berlari ke belakang rumah. Di sana, di tanah becek sebatang tubuh telungkup memeluk tanah, darah merembes lewat lubang menganga pada lambungnya. Perempuan mana yang tak hancur, menyaksikan suaminya mati bersimbah darah. Tapi sungguh, Emak adalah perempuan tegar. Bukan berarti tidak sedih, bahkan Mak sangat sedih, jiwanya seolah hancur lebur, berderai seperti anai pada musim badai. Emak memungut lengan Ayah yang terdampar tujuh hasta dari badan, tangan yang selalu mengusapnya lembut, penuh cinta, tak pernah kasar dan kini Emak menggenggamnya tanpa badan. Oh, aku tak mau bercerita tentang ini panjang lebar. Aku tidak sekuat Emak, menahan kobaran  rindu yang hampir menghanguskan semangatnya. Aku sangat rapuh, serapuh jerami kering dilalap api. Hingga kini aku tak ingin membayang peristiwa itu.

Kukatakan mereka adalah manusia berhati baja, keras, dan hitam. Tak ada secuil pun rasa kasih sesama manusia. Emak menjadi perempuan ke dua lusin yang mereka paksakan janda. Sedangkan aku anak yatim yang ke-75 dilahirkan dari tangan bengis mereka. Usiaku waktu itu sangat belia, sedangkan Mak masih muda, umurnya masuk 21 tahun. Jujur ku katakan, Mak mempunyai rupa selaksa bunga, ditambah dengan kerudung besar yang menyalup tubuhnya saban masa. Budi begitu halus, keluar rumah sekali-kali bila genting saja. Tidak sekalipun menantang muka dengan pria yang bukan mahramnya. Agama mengurung Mak dari dunia hina dina.

Saat kampung kami disulut api kebencian, memperebutkan kekuasaan dan hasil tambang, Ayah yang merupakan lepasan dayah meminangnya. Tanpa remeh-temeh berlangsunglah ritual sakral penuh kesederhanaan, sepasang manusia kini menjadi halal. Inilah awal punca masalah. Pentolan kaum borjuis di kampung kami sudah lama menanam cinta pada Mak, dia berharap dengan kekayaannya Mak bisa dipersunting. Padahal tidak sama sekali. Seberapa banyak harta, budi di atas segala-galanya.

Sejak itu mereka mencari cara untuk membunuh Ayah, hingga pada suatu pagi mereka menunggu Ayah di semak tak jauh dari sumur. Ayah meninggal dalam suci walau tak sempat mendirikan shalat terakhirnya. Emak tahu siapa yang membunuh, tapi tak ada guna membalas dendam. Bahkan pembunuh itu, kini sudah menjadi pemimpin di kampung kami. Kekayaannya yang berlipat membuat kekuasaan bertekuk di dengkulnya. Sedangkan Emak usai shalat Subuh selalu melempar pandang pada pokok rumbia yang kian rimbun. Di sana suaminya dikuburkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :