Yang Datang Setelah Bandang

Tiba-tiba kampung kami begitu ramai didatangi orang. Mereka datang membawa apa saja. Kata Pak Keuchik, barang yang mereka bawa adalah sumbangan dari orang-orang di kota sana.  Setiap hari, dari pagi hingga petang, kampung yang terletak di tapak bukit ini riuh.  Orang-orang yang tak ku kenal melewati tenda kami satu per satu. Wajah mereka menyirat duka. Belas kasih seperti sengaja dinampak-nampakkan.  Padahal petaka ini senditri  datang atas lakunya, yang mencabut kayu sampai ke akar. Dan kini mereka datang dengan sembako di tangan kanan, sedang di tangan  kiri memegang chainsaw, batang mana lagi akan ditebas.
Tentu ada muka yang benar-benar sendu menatap rumah kami, yang tak berbekas  dilumat bandang malam itu. Namun, jumlah mereka bisa dihitung dengan  jari. Selebihnya masih  seperti  singa-singa lapar, garang,  seolah siap memakan apa saja. Sekilas mereka mirip dermawan, punya empati dengan apa yang terjadi pada kami. Tapi mataku justru melihat sebaliknya.

Sulit kuhilangkan di memoriku wajah-wajah  mereka yang  tampak bengis, rakus, wara-wiri menenteng parang yang sedang  menuju hutan. Sebelum musibah itu datang, berhari-hari, berbulan-bulan, mereka menenteng parang dan chinsaw. “Oh, tidak. Jangan kirimkan lagi bandang itu ke kampung kami,” batinku.

Aku masih ingat prahara itu yang datang tiba-tiba. Malam itu selepas Isya, aku meringkuk di bawah selimut setelah seharian menyemai biji coklat. Mataku terlalu berat menahan kantuk. Gemuruh dahsyat terdengar bersahut-sahutan. Raungnya pecah, membawa amarah yang lama dipendam. Jeritan memanggil nama-nama yang tak asing di kupingku. Nama-nama yang selama ini kerab kami sanjung. Lantas dalam hitungan menit, aku terbawa arus, balok-balok besar melindas apa saja. Kebun jagung, cabai, kacang panjang, kios, warung kopi, meunasah, sekolah, hingga pondasi rumah kami tercabik-cabik.

Kampung kami musnah. Anak-anak, tua muda, terbenam dalam air berlumpur pekat. Meronta-ronta, memelas, minta ampun, entah pada siapa. Padahal, kami tak pernah jahat pada gunung dan pepohonan yang tumbuh menjulang. Kami tak pernah mengusik  pohon-pohon yang  tumbuh alami itu.   Justru orang-orang asing datang dan  menebas pohon yang tak pernah mereka tanam, sampai akar tercerabut dari dekapan Bumi. Gelinding batang besar diangkut berton-ton kubik. Mereka meraup rupiah dari menumpas pohon. Terpuas nafsu menjarah kayu, mereka beriring pulang. Segepok uang di tangan. Namun,  mereka tak pernah menanam lagi. 

Rumahku yang dibangun Ayah 30 tahun silam, hilang sama sekali. Tak berjejak. Ibuku hampir mati ketika air raksasa itu datang. Dan  dengan sabar, Ibu  masih mengatakan, “Ini cobaan. Kita harus sabar, nak.”

Pagi ini, di depan tenda pengungsian, aku duduk termangu. Menatap sekeliling. Orang-orang berdatangan dari mana-mana. Mereka lewat seperti berparade, berkelompok-kelompok. Memakai baju sama warna. Mobil mereka berkilat, hitam, putih, abu-abu. Oh, ternyata di dalamnya bertumpuk karung beras dan kardus mi instan. Pada sisi kiri kaca depan, mereka tulis besar-besar, “Bantuan untuk  banjir bandang”. Ah, menyumbang ternyata perlu promosi juga, pikirku. Bahkan ada yang menulis dari lembaga ini-itu, bapak fulan-ibu fulen. Dan lebih parah lagi, setiap karung beras diturunkan, juru foto  sigap mengambil gambar. Esoknya, terpampang di muka koran, sambil tersenyum mereka menyerah bantuan. Sedangkan tangan kami mengusap mata yang belum kering. Mungkin takkan mengering, karena aku belum melihat ada perubahan laku para penebas hutan itu.

Aku membatin. Inikah cara mereka membantu kami?    Anehnya, orang-orang  kampung kami mengambil sumbangan dengan suka cita. Tak henti bibirnya melukis senyum. Mata berkaca, seolah ada bahagia tak tertandingi saat menadah tapak tangan mengambil bungkusan. Mereka rela merangkak dari sela-sela batu gunung, menyisir sungai yang jembatannya putus. Lumpur dan pohon-pohon tumbang mereka abaikan. Mereka mengantri dibagi sumbangan: Beras, minyak dan telor, atau apa saja yang bisa dimakan.

Padahal, bukan itu yang kami butuh. Bukan selimut, roti, susu, air minum, vitamin, kompor, gula yang kalian antar bertumpuk-tumpuk. Kami ingin mereka kembalikan pohon-pohon yang mereka rampas. Kami mau melihat gunung itu kembali hijau. Paru-paru kami ingin menampung udara sejuk seperti puluhan tahun silam. Kembalikan kicauan burung yang telah mereka usir. Kembalikan mimpi kami untuk membesarkan anak-anak kami dalam damai. Matahari merambat naik. Yang  datang pun kian ramai. Berduyun-duyun. Di mataku, mereka tampak menggenggam parang, kapak, dan gergaji. Kakiku patah ditempa kayu. Aku ingin menghadang mereka, tapi tak bisa. Ada yang menahanku dari belakang. Tangannya mencengkram pundakku. Mereka tak perduli, kian ganas. Mereka lari menuju hutan, sedang tangan mengacung parang. “Jangan tebang lagi. Jangan tebang lagi. Hanya itu satu-satunya pohon yang masih tersisa, “ aku menggigau di tenda dengan suara nyaring  malam itu.  Aku kemudian terjaga. “Tidak nak, kali ini mereka datang menyalurkan bantuan, bukan untuk menebang pohon-pohon,” kata ibuku  sambil mengusap-usap kepalaku yang keringatan  sehabis bermimpi buruk.  

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :