Tungku Hitam

IA duduk bersila menghadap ke tungku. Bibirnya kaku, tanpa komat-kamit mengucap mantra seperti kebanyakan dukun. Tidak juga tersedia peragat mistik seumpama kemenyan, jeruk purut, kain putih atau air tawar dalam bejana. Hanya matanya sesekali berkedip menghalau asap.

Kayu muda yang disulut itu tampak sangat mengganggu. Meskipun tungku yang diakrapinya sepanjang hari, terlebih pada musim penghujan, terus mengeluarkan asap hingga menyesaki ruangan bukanlah bagian dari prosesi penerawangannya dengan alam gaib.
Layaknya murid yang akan menerima peralihan ilmu kebatinan. Sampai lama, lelaki tua itu tidak menampakkan reaksi apapun ketika dengan penuh gundah Jalin memposisikan dirinya di sana. Lelaki tua itu hanya terusik oleh asap yang terus mengepul menyiangi mukanya. Sesekali tangan rentanya memindahkan susunan kayu bakar, mendorong sisa arang dan menarik tumpukan bara. Kali ini matanya melotot untuk memperjelas letak kayu-kayu yang disulut, dan seonggok tubuh yang telah lama mematung di depannya, tidak jua ia lirik.

Jalin mengikuti arah tatapan matanya yang menahak kelangit-langit. Tak ditemui sambutan selamat datang atau pertanyaan “ada maksud apa kau datang kemari?” Langit-langit tanpa plapon itu membuat ia memperlihatkan tulang-tulang supu rumbia yang menghitam. Begitu rapi tersusun dengan merentangkan sejumlah jaring laba-laba yang juga semakin menghitam. Seluruh langit-langit ruangan itu nyaris hitam kecolatan yang menandai begitu lama lelaki itu berkomunikasi dengan alam lain..

Lelaki renta yang  dibalut jenggot dan bersurban putih itu belum juga bergeming, meskipunbeberapa kali Jalin terbatuk-batuk, menepis kepulan asap. Asmanya bisa kumat, tetapi ia tetap saja membetahkan diri. Ia menunggu sambil berharap sang dukun bisa memenuhi hasratnya. “Apakah kakek tua ini buta?” pikir Jalin. Sebab sejak kehadirannya, mata lelaki itu tak juga mengarah ke mata Jalin yang kedap-kedip menahan pertih asap. “Mungkin ia tuli?” sebab sekian kali Jalin batuk, daun telinga orang yang dianggap turunan wali itu tidak jua menangkap arah sumber suara.

Berselang beberapa menit, di antara kepulan asap tungku yang membentuk arakan awan hitam, menggumpal dan menyesaki ruangan, Jalin mencoba membuka pembicaraan. Berharap kakek tua itu meresponnya. Sepatah dua patah kata, tiga empat dan sepuluh kalimat bicara, si kakek mulai bergeming, meski ia tanpak hanya membetulkan lingkaran syal yang melilit lehernya.

Jalin menghindari kepulan asap dengan menggeserkan tempat duduk. Ia pun mulai bercerita panjang lebar prihal hasratnya menemui sang dukun. Musali persoalan di kantornya hingga urusan Ruksan dan Gunedi, orang yang menyarankan agar Ia menemui sang kakek bersurban putih. “Seingatku, baru kali inilah aku berkata jujur, tanpa menyembunyikan sesuatu apapun. Kok di depan lelaki tua ini aku harus jujur,” guman Jalin. Ia terus mengamati reaksi sosok kakek tua itu secara detil. Ia penuh harap agar masalahnya bisa teratasi, apakah ia harus pakai ajimat atau apa pun, yang penting ada jalan keluar.  Namun seperti tak ada sinyal dari lelaki tua itu. Si kakek duduk bersila sambil tangannya memilin tasbih, sesekali alisnya berkedip, dahinya mengerut menahan terpaan gumpalan asap tungku hitam.

Jalin kaget ketika tiba-tiba lelaki tua itu angkat bicara.”Kembalilah, tungkumu hitam, jalanmu hitam. Sulut sesuatu yang bercahaya dari dadamu, ikuti dan alirkan kehulu. Insyaallah kelak tungku di dadamu akan semakin jernih,” ujarnya dengan suara bergetar. Jalin membungkam. Sekujur tubuhnya seperti diguyur embun dingin dari pelepah dedaunan belantara, menggetarkan jiwa mengguncang kesadaran. Jalin tersungkur di jalanya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :