Mentari Lesu Lagi

Mentari hari ini lesu. Warung di pojok kampung tak buka. Kios Jasa Poma milik Fakri tertutup. Pagar meunasah tergembok. Tembok segala tembok di pagar perumahan kian banyak dibubuhi coretan. Aku tak mau menyebutkan satu pun apa maksud coretan itu. Karena begini wahai pembaca, setahun lalu, setelah aku menyebutkan maksud coretan itu, aku babak belur dihajar beberapa pemuda yang mengaku pemilik coretan. Dan coretan itu susah diterjemahkan. Hanya aku yang tahu. Itu karena aku pernah bergabung sebulan dengan mereka.
Oh ya, maaf, tidak aku saja yang tahu. Ada seorang lagi yang tahu. Dia Pak Dolah. Usianya senja. Kumis tebal melengkung seperti tanduk kerbau. Bicaranya tersengau-sengau. Suka membersihkan belukar yang menjalar di sepanjang tepi sungai kampung. Suka menyanjung anak-anak yang mengenakan sarung di bahu dan peci di kepala seraya menggamit kertas berisi kitab-kitab untuk ikut pengajian kala sore atau malam. Tapi, ia benci pada pemuda-pemuda yang masih duduk di warung kopi ketika masuk waktu salat. Pak Dolah ramah, murah hati, tegas, mahal marah, ringan tangan, dan gerah ibadah.

Mentari hari ini lesu. Aku disuruh keuchik mengambil satu batu di Krueng Baro; sungai yang membelah kampung kami dengan kampung tetangga. Batu lonjong dengan  warna abu-abu telah kupungut. Lalu, kubawanya ke lampoh jeurat di belakang meunasah. Mungkin ini jasa terakhirku buat Pak Dolah. Di tanah pemakaman umum itu, pasti puluhan pasang mata basah. Di sini aku terengah-engah sembari melihat kiri-kanan, apakah ada pencoret-pencoret itu yang mungkin lagi khusyuk menikmati rokok di bawah pohon asam dekat bronjong. Jika ada dan mereka menggangguku, akan kupecahkan satu per satu kepala mereka dengan batu ini. Aku bertekad memberanikan diri. Sebab, kurang ajar sekali mereka menikam Pak Dolah hingga bersimbah darah. Dan orang sekampung marah. Tapi sampai aku tiba di lampoh jeurat, mereka tak muncul. Alhamdulillah.

Tujuh hari setelah kematian Pak Dolah, akulah satu-satunya orang yang tahu makna coretan-coretan itu. Ditulis seperti tanda tangan. Tapi bukan tanda tangan. Kerjaan anak vandalis atau punk juga bukan. Kerjaan setan? Mungkin. Tapi tidak juga. Dan gara-gara coretan itu, fasilitas umum di kampung kami menjadi  kotor. Kalau kau melihat dari atas, semisal dari helikopter, wajah kampung kami persis seperti kertas putih yang dipenuhi coretan anak-anak yang baru belajar menulis boh itek kom. Kalaulah setiap pagi kami bergotong royong, menghapusnya, di keesokan paginya coretan itu muncul lagi. Ketika kami memutuskan jaga malam sejak semalam, baru kampung kami bersih.

Namun tidak denganku. Setelah  diberlakukan jaga malam, aku kerap diteror mereka. Dicoretnya di jembatan kampung sebelah. Isinya,  “Jailani, kau akan mati jika jaga malam masih diberlakukan.” Aku, mereka, mungkin juga kalian, heran, kenapa mereka menuliskan itu semua. Apa doa pengasih untuk menarik hati gadis-gadis di kampung kami yang anggun-anggun. Dan aku ketakutan setiap berada di kampung. Akankah aku diperlakukan seperti Pak Dolah. Aku yang hidup sebatang kara sejak keluargaku digulung tsunami, tak tahu harus berlindung pada siapa. Maka aku memutuskan untuk berhijrah. Aku lari sebagaimana halnya eksodus para petinggi suatu pergerakan politik. Aku merantau ke negeri jiran. Kukira kampungku sudah bersih dan aman. Tugasku adalah mengamankan kehidupan orang kampungku walau diriku dihantui ancaman dari pemuda-pemuda itu.

Mentari lesu lagi saat aku sudah di bandara, menunggu panggilan naik ke capung besi. Aku melihat ujung kakiku. Ada bayang semu mendekatiku, meski mentari malas bersinar. Saat menengadah, empat pemuda berdiri tegap di hadapanku. Mereka, ya mereka yang menghajarku kemarin, pencoret-pencoret  itu. Peluh terbit di keningku. Bajuku mulai basah. Wajah mereka menyeringai marah. Bug! Bug! Bug! “Tolong...”

1 komentar:

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :