Kaul di Kampung Sunyi
AKHIRNYA aku kembali terdampar di sudut kampung sunyi usai bergelut dengan hiruk pikuk dan riuhnya angin kota. Kulihat Balee Manyang masih seperti lima tahun lalu, beratap rumbia dan berdinding lapuk. Sederhana berdiri dalam kepungan hamparan sawah yang bulir padinya masih leluasa mereguh embun di pagi mendung ini. Di rangkang kecil, Zuk tampak damai dalam kusyuk simpuhnya. Genggam tasbih bergerak perlahan yang padu dengan komat-kamit mulut sepanjang subuh tadi hingga terang tanah. Muasal dari balee-balee itu, alunan zikirnya mengalun sayup-sayup merdu ke seantero dayah. Rupa Zul sekarang juga kian menawan dibalut pakaian putih. Mungkin itu hadiah dari Abu Cut sepulangnya dari tanah suci.
Ah, membayangkan sosok Abu Cut, semangatku kembali runtuh. Lalu kurasakan kedamaian di kampung ini hanya sesaat. Belum lagi segudang pertanyaan yang akan beliau berondong bak peluru yang menusuk tubuh. Langkahku betul-betul surut jika aku tidak merasa kasihan pada Mak. Permohonan terakhirnya tadi, harapan terjal yang beliau tindihkan di pundakku. Dugaanku tidak meleset saat aku tiba di Balee Manyang, nada-nada keruh sudah Abu Cut pamerkan dari rona merah wajahnya. Langkahnya mondar-mandir yang tampak mengulum sinis menghujam cela seraya melempar buku itu.
Ah, membayangkan sosok Abu Cut, semangatku kembali runtuh. Lalu kurasakan kedamaian di kampung ini hanya sesaat. Belum lagi segudang pertanyaan yang akan beliau berondong bak peluru yang menusuk tubuh. Langkahku betul-betul surut jika aku tidak merasa kasihan pada Mak. Permohonan terakhirnya tadi, harapan terjal yang beliau tindihkan di pundakku. Dugaanku tidak meleset saat aku tiba di Balee Manyang, nada-nada keruh sudah Abu Cut pamerkan dari rona merah wajahnya. Langkahnya mondar-mandir yang tampak mengulum sinis menghujam cela seraya melempar buku itu.
“Apa yang kau harapkan dari semua ini. Kau pikir bualanmu ini akan mensejahterakan masa depanmu dengan anakku. Inikah maksudmu bagian dari dakwah? Baah, Seni tak lebih dari suatu hal yang melenakan manusia!” Abu Cut berhenti sejenak. Fitri naik seraya membawa nampan berisi kue dan minuman. Gadis itu masih bersahaja seperti dulu, kebaya dan kerudung panjang. Sungguh tak bisa dipercaya ketika orang mengatakan bahwa Fitri yang tergolong remaja berayahkan lelaki keriput berjenggot uban. Suatu rentan usia bak jarak dua kutub. Fitri mengulurkan tangannya, dan aku rasa cahaya wajahnya yang dulu menyejukkan, kini berubah jadi getar kerisauan, kian menyesakkan ketika Abu Cut menyulut kupingku lagi; “aku lebih menyukai Zul, pemuda alim yang sedang berzikir itu!”
Sejak dulu, Abu Cut memang terkesima pada suara indah Zul. Tuhan telah menganugerahkan sedikit titisan Daud pada pemuda itu. “Tapi Buya...Bu..ya Hamka sang kharismatik juga berdakwah dengan pena”ujarku dengan gugup. Ingin sebongkah harap itu masih tersisa “Aku tahu Hamka juga seorang ulama. Tapi layakkah beliau mengumbar cinta di tengah khalayak. Beliau juga pernah dihujat karena Kapal Van De Wick” suara Abu Cut menggelegar. Nafasku terengah seiring peluh yang meregangkan bulu-bulu kulitku.
“Maaf Mujala, aku tak dapat memenuhi keinginan Mak mu. Sebelum engkau menjadi Teungku sempurna dan membuang kebiasaan burukmu itu” ujarnya perlahan. Namun aku merasa seperti prajurit yang kehabisan amunisi lalu siap-siap dibugilkan musuh untuk diarak keliling kota.
Aku segera beranjak dari Balee. Putus asa dan menanggung malu. Tiba-tiba dengan tergesa Fitri menghampiriku. “Aku suka cerpenmu yang di koran kemarin. Kisahnya menyentuh relung hati,” ketusnya dengan senyum merekah. Aku tersipuh mendengar basah-basihnya, sebelum dikagetkan dentumam kecil dari balik dinding. Fitri pun masuk tergesa-gesa. Ia tahu betul perangai Abunya. Kubayangkan raut beringas Abu Cut di balik dinding ketika Fitri memuji karyaku. Seperti aku percaya bahwa kaul mak menjodohkan aku dengan Fitri sejak lahir tak terlalu berlebihan, maka aku percaya pula ketika Mak pernah bercerita kenapa Abu Cut mengakhiri masa tuanya di usia lanjut karena banyak perempuan tak menyukai satu-satunya lelaki yang tak bisa berpantun itu di kampung sunyi masa itu.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :