Cerpen Baju Baru untuk Putriku

Lebaran kian dekat. Rasa haru dan suka cita membuncah dalam dada. Satu-satunya yang kupikirkan saat ini: Bagaimana caranya agar kedua putriku mendapatkan baju baru, seperti juga anak-anak yang lain. Bagi sebagian orang mungkin mudah, tapi bagiku tidak demikian. Laura, istri mudaku, belum tentu setuju aku membeli baju untuk kedua putriku.

Sejak aku menikahinya tiga tahun lalu, aku memang terpaksa menitip kedua anakku di rumah neneknya, ya di rumah ibuku. Kupenuhi kebutuhannya setiap bulan, tentu secara diam-diam, tanpa sepengetahuan istri mudaku.

Dia memang tak sudi putriku hadir dalam kehidupan kami. Suatu hari Laura bahkan pernah bertanya., “Siapa yang paling Abang cintai.” Lalu ku jawab, “Aku mencintaimu, seperti juga aku mencintai kedua putriku.” Jawabanku itu malah membuat wajahnya memerah. Dia tak sudi ada orang lain yang kucintai, meskipun itu darah dagingku sendiri. Namun, di hari-hari berikutnya, karena aku telanjur mencintainya, kukatakan bahwa aku lebih mencintainya, daripada anakku sendiri. Sebenarnya hati kecilku tetap berkata bahwa aku mencintai semua mereka.

Pada Lebaran tahun pertama aku hidup dengan istri mudaku, tak ada masalah yang muncul, karena aku menuruti larangannya untuk tak membeli baju Lebaran kedua putriku. Saat itu secara diam-diam, pada pertengahan Ramadhan, aku pulang ke rumah orangtuaku membawa baju baru untuk mereka berdua.

Namun saat ini, Lebaran tinggal sepuluh hari lagi, aku belum juga muncul di rumah orangtuaku. Aku menerka bahwa kedua buah hatiku pasti sedang menantiku membawa baju baru. Aku bisa membayangkan senyum mereka saat aku pulang; sambil menjinjing hadiah Lebaran. Aku yakin mereka sangat senang. Ya, aku yakin itu.

Namun, sesekali terbayang perkataan istriku menjelang Ramadhan, “Pa, aku belum ingin punya anak sekarang. Aku ingin punya anak darah dagingku sendiri, tapi lima tahun lagi. Kalau anakmu, kapan pun aku tak sudi menerimanya. Sampai sekarang, tak ada yang tahu bahwa aku kawin dengan seorang duda. Jadi, Papa jangan coba-coba membawa anakmu kemari. Bukankah Papa masih punya orangtua yang masih bisa mengasuh mereka?”

Aku hanya diam ketika itu. Cintaku padanya membuatku tak berdaya, bagai cacing dilindas truk muatan besi. Namun, aku juga seorang manusia, seorang ayah. Aku tak tahan dengan ujarannya yang lantang dan menusuk tajam jantungku. Aku benar-benar sedih dan terluka. Semua itu tertancap kuat bagai paku dalam sudut kepalaku. Kemudian, aku mendatangi Ustaz Hadi, meminta darinya pencerahan dan nasihat agar batinku tenang, juga sabar menghadapi cobaan yang amat berat ini. Lalu, Ustaz Hadi menasihatiku. Beliau mengatakan bahwa perempuan itu makhluk yang amat rapuh, bila digenggam kuat dia akan hancur. Oleh karena itu, aku harus membimbingnya dengan baik, memberinya pengertian bahwa yang kulakukan itu sebuah kewajiban. Allah akan murka pada kami bila mengabaikan kewajiban itu.

Memang benar, nasihat Ustaz Hadi membuka pintu hati istriku. Dia menerima perkataanku dengan baik. Bahkan keesokannya mengajakku membeli baju baru untuk kedua anak perempuanku. Dia memilih sendiri baju itu. Menurutnya, itu baju trend masa kini. Dan dia benar-benar telah berubah. Aku tak menduganya sama sekali. Setelah itu dia menyuruhku menjemput kedua anakku untuk mencoba memakai baju itu. Aku benar-benar gembira. Berkali-kali aku bersyukur pada Allah.

***

“Pa, Mimi tidak suka baju ini. Mimi sudah besar. Kata ustaz, Mimi sudah wajib menutup aurat. Baju ini kan sempit sekali, Pa,” ujar anakku yang pertama. Kini dia sudah berusia sebelas tahun.

“Iya, Pa. Ana juga tidak suka. Perempuan kan tidak boleh berpakaian ketat,” kata anakku yang kedua. Walaupun dia baru berumur delapan tahun, prinsipnya sama dengan kakaknya.

Aku bingung. Semakin khawatir bila didengar oleh ibu tiri anakku. Dia akan marah dan berang. “Iya, tidak apa-apa Nak, ya. Ambil saja dulu, besok Papa beli baju lain,” ujarku, membujuk mereka. Aku terus berharap agar mereka mendengar nasihatku. Tapi, tampaknya sia-sia. Mereka masih tidak mau menerima baju itu.

“Apa kata mereka, Pa? Tidak mau?” tanya istriku, sambil masuk ke dalam kamar seraya membanting pintu. Wajahnya merah padam. Aku diam, sambil mengangguk pelan. Dibukanya lagi pintu kamar dengan wajah melongo keluar seraya berujar, “Ya, sudah kalau tidak mau. Minta saja dibelikan sama ibu kalian.” Tekanan darahku naik memuncak. Dia sudah menyebut-nyebut almarhumah istriku. Lalu, kedua anakku menangis sesenggukan. Menutup wajah mereka dengan kedua telapak tangan yang mungil. Aku yakin, anakku sangat sedih mendengarnya. Tapi, kukuatkan hati agar nafsu amarahku segera padam.

“Pa, bawa pulang mereka! Dari dulu aku sudah yakin, kedua anakmu itu memang keras kepala. Dia tidak menghargaiku. Dan kau juga, sekarang keluar dari rumahku. Aku tidak sudi melihatmu lagi. Aku mencintaimu bukan bersama anakmu!”

Kemudian aku keluar bersama kedua anakku, menuju rumah orangtuaku. Namun demikian, aku tetap mencintainya. Tak ada perempuan lain yang hadir dalam hidupku. Aku berdoa dengan keberkahan Ramadhan dan pengampunan pada hari Idul Fitri, Allah membukakan pintu hidayah istriku agar dia menerima aku dan kedua anakku sebagai orang yang paling dicintai.


0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :