Pahlawan

“Menjadi Justin Bieber, Pak! Keren!” Jawab Fando, lalu menyanyikan ‘The Sould be Me’, meniru gaya JB. Tawa pun pecah. Kuhela nafas. “Kamu?” Menunjuk Dion, di sebelahnya. “Ingin seperti Rosi, Pak! Brem ... brem....” Bergaya miring seolah sedang balapan motor yang berada di tikungan tajam.

“Ha ha ha ha,” “Rahman?”

“Ingin seperti Olga, Pak! Banyak meraih award!” Memamerkan dua jempolnya dengan mata memicing dan gaya bencong. “Ha ha ha ha,”

“Difa?” Tersenyum malu-malu. “Saya mengidolakan Maher, Pak! Cakep! Hehehe….”

Disambut yang lain. “Turn Allah … He’s never far away put your trust in Him…”

Kugeleng-gelengkan kepala. Tidak adakah yang ingin menjadi tokoh heroik dalam kecamuk perang Badar, perang Uhud, dan upaya Fathu Makkah, seperti Kholid bin Walid, Zain bin Haritsah, Sa’ad bin Mu’ad, yang tak pernah gentar memerangi kejahiliyahan bersama rasul? Atau menjadi pahlawan nasional sekelas Panglima Besar Soedirman, Pangeran Diponegoro, atau Pattimura seperti yang kukisahkan tadi? Batinku, miris.

Tok tok tok. Pasti si Nona Telat, Nadilah. “Masuk!” kataku. Pintu terbuka. Sesosok tubuh berseragam lusuh berjalan pelan, menekuri ujung sepatunya yang berlubang besar. Berhenti di depanku. “Kesiangan?” Selidikku. Dia menggeleng lemah. “Hem ... baiklah, Bapak ingin tanya, siapa tokoh idolamu?” Tanyaku, tanpa niat mengorek alasan keterlambatannya. “Ah, anak maling bisa jadi mengidolakan koruptor. Betul, tidak?” Celetuk Fando, disambut tawa seisi kelas.

“Betul....” Serempak. Bahkan mereka mulai melempari Nadilah dengan kepalan kertas. Seperti biasa bila Nadilah berdiri di depan.

Brak, brak! “Diam!”

Suasana tenang sebentar. “Ayo, Nadilah! Adakah tokoh yang kamu kagumi?” Ulangku. Perlahan gadis berkulit cokelat itu mengangkat wajah. Menatap teman-temannya, bergantian. “Ibu, tokoh idolaku!” ucapnya, kering.

“Huuu....” Koor.

“Mau jadi pencuri juga rupanya, hahaha....” Sela Nandi.

“Buah jatuh memang tidak jauh dari pohonnya!” “Kecuali digotong kelelawar, hahaha.”

Saling sahut. Tertawa. “Diam!”

“Dulu, kedua tangannya pernah dipukuli Nenek pakai kayu hingga luka-luka, karena dituduh mencuri uang Ibu kantin,”

“Huuu....”

“... belakangan diketahui, bahwa yang mengambil uang tersebut adalah anaknya sendiri”

Tak ada suara.

“Dengan tangannya, Ibu rajin menyuapi Kakek selama Nenek pergi ke pasar berjualan pastel singkong. Tidak peduli tiap hari terlambat ke sekolah, lalu dihukum jemur selama 2 jam.”

Sepi.

“Dengan tangannya, Ibu ikut menggotong tubuh Ayah yang bermandi darah sewaktu kecelakaan, yang mengakibatkan nyawanya tak terselamatkan.” Suaranya bergetar. Parau.

Tiada yang menyela.

“Dengan tangannya, Ibu mendekap hangat bidadari kecil saat merengek susah tidur karena kekurangan ASI. Lapar seharian membuat produksi ASI-nya mengering.”

Dengan kedua tangannya, Ibu mencium tangan nenek sebagai salam perpisahan, di Bandara Juanda.” Air matanya menitik.

Kerongkonganku terasa pahit.

“Dengan tangannya, Ibu bekerja mengais real di negeri padang sahara,”

Senyap.

“Tapi, enam tahun memeras keringat, haknya tidak pernah dipenuhi sang majikan. Hingga akhirnya, ia pun jadi tersangka pencurian emas 1 kg milik majikan, dan terancam potong tangan.” Sesekali tersedak.

Ya Tuhan....

Di antara murid-murid yang lain, ada yang mengusap mata diam-diam.

“Pemerintah kabupaten pun berusaha melakukan tebusan sebesar 10.000 real atau 250 juta rupiah agar qishas diurungkan. Namun Ibu menolak, karena ia tidak mau kesalahannya dibebankan pada orang lain.”

Haru.

“Aku tidak malu mempunyai Ibu tanpa tangan karena di-qishas. Bagiku, Ibu adalah pahlawan. Sebab ia berani mengakui kesalahan dan menanggung hukumannya.”

Mataku pedas.

“Sakit keras yang dialami Kakek, telah memaksa Ibu mengambil barang yang bukan haknya.”

Kelas menjadi ruang paling diam. Hanya terdengar suara Nadilah yang kadang terbata.

“Aku tidak marah kalian mengejekku sebagai anak pencuri. Tapi bagiku, Ibu tetap tokoh idolaku. Aku ingin segigih dia. Menggantikan perannya di sini. Merawat Kakek, membantu Nenek. Menjadi tangannya yang hilang.” Ia menyeka air mata dengan ujung jilbabnya.

Ternyata, siswa-siswi yang lain pun sama.

“Aku terima hukuman apa pun atas keterlambatanku ke sekolah ini….” Nadilah menyudahi kalimat, menatapku. Mengangguk.

Dadaku seolah dipenuhi gulungan asap.

Lama kami larut dalam diam. Fando tiba-tiba berdiri. Dengan mata berkaca-kaca, ia memiringkan tangannya di dahi kiri. Disusul Imron yang melakukan hal serupa. Lalu Nandi. Yang lain pun serempak mengikuti. Menangis.

Nadilah membekap mulutnya. Sementara nafasku semakin sesak.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :