Merenda Jasad

MEREKA berlarian tanpa arah yang jelas. Caci maki dan sumpah serapah saling tumpang tindih ketika lorong-lorong sempit itu tidak mampu menampung langkah-langkah mereka. Menyeruak gelisah oleh getar ketakutan. Tangis yang tadinya tertahan, tumpah dalam jeritan dan kehisterisan. Gaung kepedihan dan luka baru saja dipantulkan oleh langit pagi. Ada yang terjatuh, terinjak-injak, bahkan terseret-seret di sepanjang lorong-lorong sempit yang dengan panik mereka pilih.
Ketakutan membuat mereka sesaat lupa akan harta, kekasih, maupun keluarga. Yang terpikirkan hanyalah setapak langkah ke depan. Jangan sampai terkejar oleh gulungan ombak yang tiba-tiba mengunjungi mereka, menjadi tamu tak diundang. Kembali sumpah serapah bergantian dengan jerit tangis dan gema takbir diterbangkan angin pada pucuk-pucuk rumput dan diteruskan pada dahan-dahan pohon yang menyampaikannya pada awan-awan yang segera saja berganti baju dengan seragam duka cita.

Sekuat apa pun mereka berlari, sekeras apa pun sumpah serapah, setakut apa pun hati mereka dengan kematian, Izrail tetap berdiri di ujung jalan setapak dengan raut muka berbeda. Sebagian melihatnya tersenyum, bahkan memuliakan mereka lewat sapaan yang menyejukkan, sebelum ombak-ombak yang sudah menjadi kumpulan air berwarna hitam kecoklatan membenamkan jasad-jasad mereka dan menyeret tubuh-tubuh kaku itu pada tempat perisitirahatan terakhir.

 Tidak sedikit yang dipelototin oleh Izrail dengan mata memerah dan ruh mereka dicengkeram dengan kuat hingga menggelepar bagaikan domba yang disayat dan dikuliti. Satu per satu dari mereka dijemput oleh kematian. Tidak ada yang menduga sebelumnya kalau ombak yang selama ini telah mereka akrabi sebagai kekasih di waktu sepi atau sebagai teman pada saat hari-hari bahagia maupun duka, pagi ini menjadi perantara sebelum memasuki alam baru.

“Kenapa mereka sangat takut dengan kematian?”

“Mana kutahu! Masing-masing kita kan punya kehidupan.”

“Tapi, segala sesuatu pasti ada sebabnya. Bodoh kalau ada yang berpikir bahwa kejadian di dunia hanyalah suatu kebetulan atau sebuah akal-akalan Tuhan karena kurang kerjaan.”

“Memangnya kenapa? Terserah mereka mau berpikir seperti apa. Toh, mereka lebih mulia dari kita. Ada akal yang diberikan Tuhan untuk mengimbangi nafsu mereka. Sedangkan kita hanya bagian dari dunia yang tidak begitu penting.”

“Siapa bilang kita tidak penting? Bahkan seekor nyamuk pun punya nilai bagi kehidupan ini. Tapi, sungguh, baru kali ini kulihat ombak setinggi itu dan coba kauperhatikan wajah-wajah ombak itu. Begitu berbeda dengan keramahan yang selama ini menyapa ketika sayap-sayap kita meyentuh permukaannya. Sepertinya ada amarah yang sudah dipendam bertahun-tahun.”

“Eh, jangan salah ya. Kamu lebih bodoh untuk hal menilai karakter. Ombak-ombak itu bukannya marah, tapi sedang menahan kesedihan. Coba kau lihat bocah malang yang terapung itu atau nenek yang sedang terjepit di bawah gundukan sampah dan seng atau perempuan hamil di sebelah sana yang sedang timbul tenggelam dengan tangan berusaha menggapai-gapai.”

“Terserahmulah.” Hening sesaat menyapa.

“Bukan maksudku menjelek-jelekkan mereka, tapi apa yang mereka kerjakan selama ini sudah sangat keterlaluan. Hampir setiap hari mayat ditemukan bergeletak di mana-mana. Kau ingat ketika kita hinggap sejenak di pepohonan dekat masjid besar di tengah kota, sangat sedikit dari mereka yang mau rehat sejenak dari dagangan yang mereka gelar ketika panggilan Tuhan berkumandang. Coba sesekali kau terbang malam hari menyusuri pesisir pantai, aku yakin kau akan muak dengan kemungkaran yang mereka tebar.”

“Itu kan menurutmu. Bagiku, mereka tidak seburuk itu. Meski kuakui tingkat pembunuhan di tempat ini sangat mengerikan, masih banyak kok yang masih taat dengan ajaran-Nya. Mereka yang telah mengorbankan segalanya untuk mengingatkan saudara-saudaranya yang lain.”

‘Awas!” Meski sudah berteriak sekuat mungkin, tetap terlambat. Burung bersayap putih itu hanya mampu melihat tubuh temannya menabrak pohon asam jawa yang tumbuh berjejer di sepanjang jalan kota. Tubuh itu terus meluncur ke bawah dan menghilang dalam kepekatan ombak yang warnanya semakin hitam. Termangu sesaat hingga kemudian kawanan camar memanggilnya. Burung bersayap putih itu menatap hampa pada gulungan ombak, mengucapkan salam terakhir untuk temannya sebelum kemudian terbang bersama kawanan camar menuju arah matahari tenggelam.

                      ***
Laju ombak mulai melambat. Jasad-jasad kaku berkubangan lumpur, sebagian terimpit dahan kayu dan sebagian tergeletak di bawah bangunan runtuh. Ada kelelahan yang terlukis pada wajah-wajah ombak. Sambil terus mencoba menemukan permukaan tanah yang lebih rendah, serempak mereka berzikir. Angin yang kemudian menerbangkannya ke seantero bumi. Binatang, tumbuhan, hingga makhluk-makhluk yang tak terlihat sejenak memejamkan mata oleh getar kesedihan yang tiba-tiba mengguncang mereka.

    “Ibu! ibu! Allah, ke mana ibu?” di tengah hiruk pikuk, sedu-sedan, dan ratapan, gadis tanggung itu berusaha menguak kerumunan itu.

    “Kak, lihat nenek saya enggak?” bocah lelaki dengan tubuh berbalut lumpur tiba-tiba saja memegang tangannya dan kemudian menangis. Gadis tanggung itu pun ikut menangis. Keduanya berpelukan. Hanya sejenak, sebelum kemudian ombak-ombak itu kembali dan menyeret keduanya bersama ratusan ribu jasad lain.

Air semakin meninggi. Pekik dan jerit tidak terdengar lagi. Hanya bunyi deru ombak yang mengiringi kepergian satu per satu ruh orang-orang di bawah sana.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :