Sabil

Siang itu awan-awan tipis sedikit kelabu mengapung di langit, mengendarai angin terbang jauh ke utara. Sederet pipit bertengger di dahan, mencericitkan syair yang dimengerti mereka sendiri. Di bawahnya, dibalik semak-semak, sepasang mata dengan ketapel di tangan, sigap membidik. Satu, dua, tiga… Ah, sayangnya meleset jauh, tak satu pun kena. Rengut kecewa jelas tersirat di wajah bundarnya. Bibir menguncup dengan alis berkerut, makin kerucut karena senyum pengawal di kejauhan.

“Sudahlah Sabil, menyerah saja.” Kata pengawal itu, “Mungkin kau tak berbakat memegang ketapel.” Sabil mendengus lalu membidik ketapel ke arah pengawal yang mengoloknya. “Ampun.. Ampun.. Jangan ditembak!” Pekik pengawalnya berusaha melindungi kepala dengan tangannya.
“Sabil, jangan main-main. Bahaya itu,” ujar seorang pria bertubuh tegap yang duduk di bawah salah satu pohon besar bersama beberapa pengawal lainnya.


“Iya, Ayah. Sabil cuma bercanda, “ ujarnya tersenyum. “Ayah, Sabil ke sungai, ya.”
“Iya, tapi jangan jauh-jauh. Ahmad, kamu temani Sabil.”
“Baik Pang Nanggroe,” jawab pengawal yang mengolok-olok Sabil tadi.

Hari itu Pang Nanggroe sedang beristirahat dengan pasukannya setelah melakukan patroli di sekitar Paya Cicem. Sabil yang masih sepuluh tahun memaksa ikut dengan mereka. Semua masih baik-baik saja, sampai beberapa saat kemudian ketika sebuah suara letusan membahana yang disusul dengan tubuh ambruk ke tanah. Mereka terkepung. Ternyata diam-diam pasukan Marsose telah mengikuti jejak mereka dan melakukan serangan tiba-tiba.

Sabil tercekat begitu mendengar bunyi tembakan. Dia masih di sungai, tapi dia tahu letusan berarti serangan.
“Ayah!” pekik Sabil.
“Sabil, berhenti!” Ahmad menghentikan Sabil yang bermaksud menemui ayahnya. “Jangan ke sana, berbahaya.”
“Tidak! Aku mau menolong ayah! Lepaskan!”
“Sabil! Berhenti!

Belanda terus mendesak, satu per satu pasukan Pang Nanggroe kehilangan nyawanya. Mereka kalah jumlah. “Jika aku harus mati hari ini, maka aku akan mati dengan membawa serta kalian bersamaku! Allahu Akbar!”

Dengan klewang di tangan, Pang Nanggroe terus maju menghabisi anjing-anjing Belanda, Marsose yang haus darah, tanpa memperhatikan tebasan pedang mereka di tubuhnya. Dari kejauhan tanpa disadari sepasang mata membidikkan senjata tepat ke dada Pang nanggroe. Bunyi tembakan membahana. Pang Nanggroe tercekat memegangi dadanya yang berlubang.
“Pang Nanggroe?”
“Pang Nanggroe tertembak!”
“Mundur! Mundur!”

Serempak mereka mendekati Pang Nanggroe yang roboh ke tanah dan menyeretnya ke dalam hutan. Pasukan tanpa komando membagi dirinya menjadi dua kelompok, yang mundur menyelamatkan Pang Nanggroe dan yang bertahan untuk menghalangi pasukan Marsose yang mengejar mereka.

Langit abu-abu menggelap, angin bertiup nyalang ditingkahi kilat dan gelegar guntur, lalu perlahan gerimis turun seolah menangis. Pang Nanggroe tergeletak tak berdaya. Darah terus membuncah dari dadanya, perlahan menyungai di tebar hujan. Mereka bersembunyi di rimbun hutan, cukup jauh untuk tak ditemukan oleh Belanda.

“Sabil. Mana Sabil, anakku? Mana dia?” tanya Pang Nanggroe seraya menggamit dadanya menahan sakit.
“Ayah!” Raja Sabil mendekati tubuh ayahnya yang terbaring tak berdaya. Airmatanya berlinang. “Sabil anakku. Jangan menangis nak, kau harus tegar,” Pang Nanggroe mengusap pipi Raja Sabil yang basah bercampur air mata dan hujan. “Uhuk.. Uhuk.. Mungkin waktu ayah sudah tak lama lagi. Pergilah, selamatkan dirimu dan jaga ibumu baik-baik.”
“Aku ingin bersama ayah.”
“Tidak Sabil, pergilah. Kau harus selamat. Tanpa mu perjuangan ini akan berakhir.”
“Tapi ayah..”
“Kau harus pergi...”
“Bawa Raja Sabil ke tempat ibunya!” Perintah Pang Nanggroe pada pengawalnya.
“Tidak! Tidak! Aku tidak mau pergi.” Raja Sabil meronta dalam gedongan salah seorang pengikut Pang Nanggroe. Air matanya berlinang melihat ayahnya semakin jauh terkulai di bawah terjangan hujan,” Aku ingin besama ayah...”

“Kau harus terus hidup Sabil, demi Ibumu, aku, dan almarhum ayah kandungmu untuk melanjutkan perjuangan ini membebaskan negeri kita dari penjajah. Selamat tinggal anakku.” Gumam Pang Nanggroe yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri dengan nafas putus-putus, yang kemudian pupus digenang hujan.
Sabil meraung dalam hatinya. Kematian Pang Nanggroe sungguh membuat dadanya remuk. Dulu Ayah kandungnya Teuku Chik Di Tunong juga tewas di depan matanya, di terjang peluru-peluru Belanda. Usianya masih sangat muda, tapi rasa kehilangan memupuk rasa benci kepada penjajah jahannam itu.

***

“Maaf Cut Nyak, kami tidak bisa membawa serta jasad Pang Nanggroe. Belanda berhasil menghalau kami dan membawanya ke Lhoksukon. Kami terdesak, yang bisa kami lakukan hanya menyelamatkan Teuku Raja Sabil, seperti amanah beliau sebelum syahid. Maafkan kami.”
“Sudahlah, mungkin ini sudah kehendak-Nya. Aku sudah merelakannya. Sekarang siapkan perbekalan. Kita akan berangkat ke Gayo untuk bergabung dengan Teuku Di Mata Ie, semoga Tuhan bersama kita”
“Baik Cut Nyak.”

Cut Nyak Meutia duduk terpekur seorang diri. Kematian Pang Nanggroe cukup memukul perasaannya. Sekali lagi dia kehilangan orang yang dicintai, namun dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menumpahkan air mata bagi orang-orang yang mati di medan pertempuran. Mereka membela agama dan tanah airnya. Mereka telah syahid, dan orang yang mati syahid pasti akan mendapatkan surga.

Tiba-tiba Raja Sabil masuk ke ruangannya. “Kemarilah,” seru ibunya. Cut Nyak Meutia mendekap anak semata wayangnya. “Sabil, Jika suatu saat nanti aku juga mati, aku minta kau jangan menangis. Kau harus bisa melanjutkan perjuanganku dan ayah-ayahmu. Jangan pernah menyerah pada kafir-kafir penjajah. Kau harus kuat seperti mereka yang telah mendahului kita. Jangan menangis lagi,” ujar Cut Nyak Meutia.
“Iya bu...” sahut Raja Sabil

Mata Raja Sabil masih sembab, tapi dalam hati dia berjanji tak akan pernah menangis lagi. Demi ibu, demi ayah, dan semua yang berjuang bersama mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :