Sang Ketua
SEMUA pegawai di kantor tahu bahwa aku sangat menginginkan jabatan ketua. Selama proses seleksi calon, aku pun sangat yakin kalau nanti akan terpilih. Karena dari tiga calon yang tersisa, hanya aku satu-satunya kandidat dengan gelar doktor. Dua lainnya, Ahmad dan Marfu’ah —memang lebih tua dua atau tiga tahun dan pengalaman kerja mereka sedikit lebih banyak dibandingkan aku, tapi, mereka merangkak dengan ijazah SMA sebelum kemudian menyelesaikan program sarjana dengan biaya kantor.
Dari prestasi kerja, aku juga jauh lebih baik. Kemampuan berbahasa Inggrisku pun jauh di atas rata-rata. Hanya saja, setidaknya aku harus mewaspadai Marfu’ah, sebagai satu-satunya calon yang mewakili perempuan,. Sebab isu-isu gender sering menjadi pertimbangan. Apalagi sistem pemilihan yang mengandalkan pada pemungutan suara dari seluruh pegawai sebelum kemudian diputuskan oleh Komite, keberadaan Marfu’ah jauh lebih mengancam dibandingkan Ahmad karena hampir dua pertiga pegawai kantor adalah perempuan.
Dari prestasi kerja, aku juga jauh lebih baik. Kemampuan berbahasa Inggrisku pun jauh di atas rata-rata. Hanya saja, setidaknya aku harus mewaspadai Marfu’ah, sebagai satu-satunya calon yang mewakili perempuan,. Sebab isu-isu gender sering menjadi pertimbangan. Apalagi sistem pemilihan yang mengandalkan pada pemungutan suara dari seluruh pegawai sebelum kemudian diputuskan oleh Komite, keberadaan Marfu’ah jauh lebih mengancam dibandingkan Ahmad karena hampir dua pertiga pegawai kantor adalah perempuan.
Seminggu sebelum pemilihan, kami diberikan kesempatan berkampanye hingga batas waktu sehari sebelum hari H. Juga diadakan debat kandidat yang ditonton oleh seluruh pegawai. Di antara ketiga calon, tim suksesku yang paling ramai dengan latar belakang kemampuan berorganisasi yang baik. Aku pun memasang teori akar rumput, untuk menarik simpati massan. Tidak sedikit yang kusogok dengan uang atau kujanjikan jabatan-jabatan penting jika aku nantinya terpilih sebagai ketua.
Tim sukses dari kubu Ahmad dan Marfu’ah, terlihat tidak melakukan apa-apa. Namun, dari sikap yang ditunjukkan Marfu’ah, perempuan itu kelihatannya sangat yakin jika dia akan terpilih. Dan aku sudah bertekad bahwa perempuan itu harus membayar untuk semua sikap pongahnya.
Tepat pada hari debat, aku pun tak henti mengumbar senyum. Ahmad datang terlambat lebih 30 menit. Orang-orang yang kubayar berhasil membocorkan ban mobilnya dan itu cukup untuk menunjukkan kepada seluruh pegawai dan Komite bahwa lelaki itu tidak kompeten sebagai ketua. Dan untuk Marfu’ah, aku sudah mempersiapkan satu kejutan. Semua file yang berisi data presentasi dia lenyap tak berbekas. Aku benar-benar puas saat melihat wajah Marfu’ah yang sepucat kafan dan wajah-wajah melongo para pegawai dan Komite saat mendengar paparan yang tidak jelas dan disampaikan dengan terbata-bata.
Hanya aku, satu-satunya kandidat yang aplus meriah dari seluruh pegawai. Pesta besar pun digelar. Aku tidak lagi peduli, berapa banyak uang yang sudah habis untuk bisa menang. Lagi pula, jika nanti, mengembalikan semua uang kerugian bukan suatu yang sulit, uang akan lebih banyak kudapatkan.
Aku sudah sangat yakin akan terpilih. Maka semalam suntuk menjelang besok pemilihan, aku tak bisa tidur sambil membayangkan eforia kemenangan nanti. Pukul setengah delapan, aku sudah berada di kantor dengan menebar senyum sumringah. Semua kusapa, dan petugas kebersihan dan kuberikan tips lebih untuk satpam dan tukang parkir. Aku menunggu-nunggu wajah lesu ahmad dan Marfu’ah. Namun, keduanya datang dengan ekspresi biasa saja. Bahkan membalas senyumku dengan wajar. Kupikir, mereka sudah sangat siap dengan kekalahan.
Seluruh pegawai sudah berkumpul di aula utama untuk melakukan pemilihan ketua. Di jadwal yang diedarkan oleh panitia pelaksana, seharusnya acara pemilihan dimulai dari pukul delapan pagi hingga pukul dua belas siang. Dan semuanya mendadak gelisah. Meski jam di dinding aula sudah semakin dekat ke pukul sepuluh, pemilihan belum juga dimulai. Malahan, tidak ada pemberitahuan apa pun dari pihak panitia. Komite juga belum datang. Berulang kali kucoba menghubungi panitia pelaksana, hasilnya tetap nihil.
Kegelisahan beberapa ratus orang ketika bergabung dalam satu ruang akan menghasilkan kebisingan dan rasa mual. Dan itu yang kurasakan saat ini. Meskipun dilengkapi pendingin ruangan, keringatku bercucurab dari dahi dan pundak. Aku mulai merasakan adanya sesuatu yang tidak beres. Bahkan para intel yang kusebar tak mendapatkan informasi apa-apa tentang keterlambatan panitia.
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Terlihat selebaran yang ditandatangani oleh komite dan dilengkapi segel resmi, berisi. “Pemilihan ketua baru dibatalkan dan tampuk pimpinan selama setahun ke depan masih akan tetap dijabat oleh ketua sebelumnya. Terima kasih!”
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :