Cerpen Tetangga yang Berisik
Cerpen Tetangga yang Berisik - Rustam menyibak gorden kamar. Dia mengintip keluar. Tangannya bergetar dan napasnya tertahan. “Kalian punya Ibu?” pekik Apa Nu, “Ibuku sedang sakit! Kalian punya otak?”
Kegeraman Apa Nu diselingin siraman seember air ke kamar yang ditempati Rustam.
“Berkali-kali aku ingatkan jangan ribut!” kata Apa Nu lagi.
“Jawab! Mengapa tak ada yang berani menyahut? Coba bantah kalau berani!” Kalimat itu diulangnya berkali-kali.
Rustam membalikkan tubuh bongsornya. “Jangan diladeni. Diam saja,” bisik Rustam pada dua orang temannya. Apa Nu berdiri di antara pagar yang memisahkan rumahnya dengan rumah Rustam. Mata Apa Nu melotot. Rokok daun nipah terselip di bibirnya yang pecah-pecah. Apa Nu mengenakan kaos yang kerahnya sudah melebar, sehingga nampaklah dada penyotnya. Di langit bulan hanya separuh terlihat. Suara Apa Nu lenyap. Lalu digantikan dengung nyamuk dan suara jangkrik.
Keheningan tak berlangsung lama, sesaat kemudian muncul lagi kegaduhan. Apa Nu keluar lagi dari rumahnya. Dengan menopang kedua tangannya di pinggang, Apa Nu mengutuki dua ekor kucing yang membuat keributan di teras rumahnya. “Jangan kawin di sini! Mengganggu orang sedang istirahat!”
Melihat kedua kucing itu tak menggubrisnya, Apa Nu mengambil sandal jepit dan melemparkannya ke arah sepasang kucing yang sedang dimabuk asmara. Rustam dan kedua temannya saling bertatap. Mereka bertiga kemudian menyumpal mulut masing-masing dengan kedua tangan mereka untuk menahan pecahnya tawa.
Bumi berputar hingga ia kembali bertemu fajar. Rustam dan kedua temannya punya kelas jam sembilan. Saat mengeluarkan dua sepeda motor dari dalam rumah, mereka menemukan Apa Nu sedang menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi dengan guguran daun-daun jambu.
Kedua teman Rustam sedikit gentar. Mereka mematung di depan pintu. “Jangan takut,” kata Rustam pada dua temannya.
Apa Nu pura-pura tak melihat ke arah Rustam dan teman-temannya. Tanpa disengaja, Rustam dan Apa Nu berpas-pasan. “Kuliah, ya? Kan sudah berapa kali saya bilang, jangan berisik. Ibuku sedang sakit,” ujar Apa Nu dengan suara rendah. Rustam tersenyum dan katanya, “Maaf Apa.”
Sudah dua bulan Rustam menempati rumah kos di samping rumah Apa Nu. Awalnya, hubungannya dengan Apa Nu baik-baik saja-walau hingga sekarang sebenarnya mereka tak punya masalah yang cukup berarti. Di kos barunya Rustam mengira dapat merasakan kebebasan untuk tertawa terbahak-bahak serta menikmati kebiasannya memutar musik keras-keras sebagaimana di tempat kosnya yang lama. Tapi tidak demikian kenyataannya. Kebiasaan Rustam itu mula-mulanya dijawab dengan geraman Apa Nu. Kemudian disusul dengan teguran agar jangan membikin kegaduhan. Lama ke lamaan, Apa Nu mulai membentak Rustam. Sampai terjadinya peristiwa tadi malam: Apa Nu menyiramkan seember air ke atap kamar Rustam, agar Rustam dan teman-temannya diam.
Memang Rustam sebenarnya bisa mengendalikan diri untuk tidak berisik. Tapi agak susah memperingatkan teman-temannya yang sesekali menginap di kamar kosnya. Kadang-kadang teman-temannya itu bergosip, berbicara tentang perempuan yang mereka taksir, membuat lelucon, hingga-hingga dia sendiri bisa lepas kendali dan ikut tertawa.
***
Rustam biasanya pulang ke rumah saat lampu-lampu jalan baru dinyalakan. Tapi sekali waktu, seperti malam ini misalnya, ia pulang ketika lampu-lampu di ruang tamu tetangga-tetangganya padam.
Rustam marah pada dirinya sendiri yang tidak punya keberanian membantah Apa Nu. Kalau dia punya sedikit saja keberanian, mungkin tidak terlalu sulit berdebat dengan orang tersebut. Bahkan untuk masuk ke rumah sendiri saja aku harus mematikan mesin sepada motor, gumam Rustam.
Ia menghempaskan tubuhnya di sofa di ruang tamu. Selang beberapa saat, ia bangkit dan masuk ke kamar tidurnya. Pakaian kotor berserakan di lantai. Rustam harus mencuci sendiri, sekurang-kurangnya, sepasang pakaian agar ada pakaian bersih untuk lusa.
Rustam mengantungkan handuk di bahunya dan menuju kamar mandi. Ia terlebih dahulu mencuci pakaian sebelum membersihkan daki-daki di kulitnya yang hitam. Ketika ia ingin menjemur pakaiannya, tiba-tiba dia melihat seraut wajah keriput dengan dua bola mata yang cekung, menempel di lubang angin kamar mandinya.
“Astargfirullah,” Rustam mengucap. “Setan!”
Dengan tangkas, Rustam meraih gayung dan menyiramkan air sekaligus melemparkan gayung ke lubang angin.. Lalu, ia lari terbirit-birit hingga dia pun terpeleset. “Kurang ajar!”
Teriakan itu muncul dari luar. “Berani-beraninya kau menyiramku!”
Suara itu kian mendekat.
Apa Nu berdiri di depan pintu samping rumah Rustam dengan wajah dan badan yang basah kuyup. Tentu setelah pintu yang tak terkunci itu ia buka. “Sudah berapa kali aku bilang jangan berisik,” kata Apa Nu. Apa Nu terus mengoceh. Ia sedikit pun tidak merasa bersalah.
Rustam yang tersungkur di lantai, tak menyahut sepatah kata pun. Ia hanya merintih kesakitan.
Rustam tak habis pikir dengan ulah Apa Nu, yang menurutnya, sudah melampaui batas.
“Bahkan suara sikat pun tak boleh,” bisiknya sesaat kemudian.
Rustam sebetulnya sudah tak tahan bertetangga dengan Apa Nu. Tapi lantaran ia sudah membayar lunas sewa rumah selama setahun, pilihan satu-satunya adalah bersabar. Malam berikutnya, Rustam tidur di rumah temannya. Mungkin ia jengkel pada Apa Nu. Mungkin juga ia ingin melepas penat dengan bermain playstation bersama teman-temannya. Keesokan harinya, ketika dia tiba di rumah menyentuh pintu pagar, Apa Nu keluar dari dalam rumahnya.
“Semalam kau tidak pulang?”
“Tidak, Apa. Saya tidur di rumah teman.”
“Kau sudah makan? Rustam menganguk.
“Tunggu sebentar.”
Apa Nu masuk ke dalam rumahnya lagi. Ketika ia keluar, tangannya membawakan sesuatu. “Ibu saya sudah agak lumayan,” kata Apa Nu. “Ini untukmu. Ibuku yang memasaknya.”
Apa Nu memberikan lauk-pauk kepada Rustam. Ia kemudian duduk di teras rumahnya sambil membaca koran. Rustam tidur di kasur seraya menatapi langit-langit kamarnya. Sudah dua bulan lebih aku tinggal di sini tapi aku tak pernah sekali pun menjenguk ibu Apa Nu yang sedang sakit, batin Rustam.
* * *
Selepas mengikuti kuliah, Rustam pergi ke supermarket untuk membeli roti, gula, dan buah-buahan. Setibanya di rumah, setelah memarkir sepeda motornya, Rustam menyambangi rumah Apa Nu. Dilihatnya dari jendela kaca, Apa Nu sedang tidur di depan televisi. Dengkuran Apa Nu terdengar begitu keras. Rustam tak peduli, ia tetap mengetuk pintu sambil mengucapkan salam beberapa kali. Apa Nu terbangun. Sambil membetulkan kain sarungnya, ia mempersilakan Rustam masuk.
Rustam duduk di kursi rotan di ruang tamu Apa Nu. “Saya ingin menjenguk ibu Apa yang sakit,” kata Rustam. “Apakah beliau sudah sehat?” Apa Nu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.
“Namanya juga orang sudah tua. Ya, sakit-sakitan. Hari ini sehat, besok bisa jadi sakit lagi,” sahut Apa Nu.
Apa Nu bangkit dari tempat duduknya. Dia menuju ke dapur untuk membuatkan minuman.
Rustam penasaran dengan ibu Apa Nu yang, sejak kepindahannya ke sini, tak pernah ia jumpai. Rustam melangkah pelan dengan menjinjitkan kakinya menuju kamar di depan tempat duduknya. Pintu kamar itu tak tertutup rapat, sehingga ia bisa dengan mudah melihat isi di dalamnya hanya dengan sedikit mendorong pintu. Dia dapati sebuah bantal guling yang dipakaikan baju kebaya merah bercorak bunga-bunga, dan setengahnya lagi berselimutkan kain batik, dibaringkan di atas ranjang.
Banda Aceh, 6 Oktober 2013
Kegeraman Apa Nu diselingin siraman seember air ke kamar yang ditempati Rustam.
“Berkali-kali aku ingatkan jangan ribut!” kata Apa Nu lagi.
“Jawab! Mengapa tak ada yang berani menyahut? Coba bantah kalau berani!” Kalimat itu diulangnya berkali-kali.
Rustam membalikkan tubuh bongsornya. “Jangan diladeni. Diam saja,” bisik Rustam pada dua orang temannya. Apa Nu berdiri di antara pagar yang memisahkan rumahnya dengan rumah Rustam. Mata Apa Nu melotot. Rokok daun nipah terselip di bibirnya yang pecah-pecah. Apa Nu mengenakan kaos yang kerahnya sudah melebar, sehingga nampaklah dada penyotnya. Di langit bulan hanya separuh terlihat. Suara Apa Nu lenyap. Lalu digantikan dengung nyamuk dan suara jangkrik.
Keheningan tak berlangsung lama, sesaat kemudian muncul lagi kegaduhan. Apa Nu keluar lagi dari rumahnya. Dengan menopang kedua tangannya di pinggang, Apa Nu mengutuki dua ekor kucing yang membuat keributan di teras rumahnya. “Jangan kawin di sini! Mengganggu orang sedang istirahat!”
Melihat kedua kucing itu tak menggubrisnya, Apa Nu mengambil sandal jepit dan melemparkannya ke arah sepasang kucing yang sedang dimabuk asmara. Rustam dan kedua temannya saling bertatap. Mereka bertiga kemudian menyumpal mulut masing-masing dengan kedua tangan mereka untuk menahan pecahnya tawa.
Bumi berputar hingga ia kembali bertemu fajar. Rustam dan kedua temannya punya kelas jam sembilan. Saat mengeluarkan dua sepeda motor dari dalam rumah, mereka menemukan Apa Nu sedang menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi dengan guguran daun-daun jambu.
Kedua teman Rustam sedikit gentar. Mereka mematung di depan pintu. “Jangan takut,” kata Rustam pada dua temannya.
Apa Nu pura-pura tak melihat ke arah Rustam dan teman-temannya. Tanpa disengaja, Rustam dan Apa Nu berpas-pasan. “Kuliah, ya? Kan sudah berapa kali saya bilang, jangan berisik. Ibuku sedang sakit,” ujar Apa Nu dengan suara rendah. Rustam tersenyum dan katanya, “Maaf Apa.”
Sudah dua bulan Rustam menempati rumah kos di samping rumah Apa Nu. Awalnya, hubungannya dengan Apa Nu baik-baik saja-walau hingga sekarang sebenarnya mereka tak punya masalah yang cukup berarti. Di kos barunya Rustam mengira dapat merasakan kebebasan untuk tertawa terbahak-bahak serta menikmati kebiasannya memutar musik keras-keras sebagaimana di tempat kosnya yang lama. Tapi tidak demikian kenyataannya. Kebiasaan Rustam itu mula-mulanya dijawab dengan geraman Apa Nu. Kemudian disusul dengan teguran agar jangan membikin kegaduhan. Lama ke lamaan, Apa Nu mulai membentak Rustam. Sampai terjadinya peristiwa tadi malam: Apa Nu menyiramkan seember air ke atap kamar Rustam, agar Rustam dan teman-temannya diam.
Memang Rustam sebenarnya bisa mengendalikan diri untuk tidak berisik. Tapi agak susah memperingatkan teman-temannya yang sesekali menginap di kamar kosnya. Kadang-kadang teman-temannya itu bergosip, berbicara tentang perempuan yang mereka taksir, membuat lelucon, hingga-hingga dia sendiri bisa lepas kendali dan ikut tertawa.
***
Rustam biasanya pulang ke rumah saat lampu-lampu jalan baru dinyalakan. Tapi sekali waktu, seperti malam ini misalnya, ia pulang ketika lampu-lampu di ruang tamu tetangga-tetangganya padam.
Rustam marah pada dirinya sendiri yang tidak punya keberanian membantah Apa Nu. Kalau dia punya sedikit saja keberanian, mungkin tidak terlalu sulit berdebat dengan orang tersebut. Bahkan untuk masuk ke rumah sendiri saja aku harus mematikan mesin sepada motor, gumam Rustam.
Ia menghempaskan tubuhnya di sofa di ruang tamu. Selang beberapa saat, ia bangkit dan masuk ke kamar tidurnya. Pakaian kotor berserakan di lantai. Rustam harus mencuci sendiri, sekurang-kurangnya, sepasang pakaian agar ada pakaian bersih untuk lusa.
Rustam mengantungkan handuk di bahunya dan menuju kamar mandi. Ia terlebih dahulu mencuci pakaian sebelum membersihkan daki-daki di kulitnya yang hitam. Ketika ia ingin menjemur pakaiannya, tiba-tiba dia melihat seraut wajah keriput dengan dua bola mata yang cekung, menempel di lubang angin kamar mandinya.
“Astargfirullah,” Rustam mengucap. “Setan!”
Dengan tangkas, Rustam meraih gayung dan menyiramkan air sekaligus melemparkan gayung ke lubang angin.. Lalu, ia lari terbirit-birit hingga dia pun terpeleset. “Kurang ajar!”
Teriakan itu muncul dari luar. “Berani-beraninya kau menyiramku!”
Suara itu kian mendekat.
Apa Nu berdiri di depan pintu samping rumah Rustam dengan wajah dan badan yang basah kuyup. Tentu setelah pintu yang tak terkunci itu ia buka. “Sudah berapa kali aku bilang jangan berisik,” kata Apa Nu. Apa Nu terus mengoceh. Ia sedikit pun tidak merasa bersalah.
Rustam yang tersungkur di lantai, tak menyahut sepatah kata pun. Ia hanya merintih kesakitan.
Rustam tak habis pikir dengan ulah Apa Nu, yang menurutnya, sudah melampaui batas.
“Bahkan suara sikat pun tak boleh,” bisiknya sesaat kemudian.
Rustam sebetulnya sudah tak tahan bertetangga dengan Apa Nu. Tapi lantaran ia sudah membayar lunas sewa rumah selama setahun, pilihan satu-satunya adalah bersabar. Malam berikutnya, Rustam tidur di rumah temannya. Mungkin ia jengkel pada Apa Nu. Mungkin juga ia ingin melepas penat dengan bermain playstation bersama teman-temannya. Keesokan harinya, ketika dia tiba di rumah menyentuh pintu pagar, Apa Nu keluar dari dalam rumahnya.
“Semalam kau tidak pulang?”
“Tidak, Apa. Saya tidur di rumah teman.”
“Kau sudah makan? Rustam menganguk.
“Tunggu sebentar.”
Apa Nu masuk ke dalam rumahnya lagi. Ketika ia keluar, tangannya membawakan sesuatu. “Ibu saya sudah agak lumayan,” kata Apa Nu. “Ini untukmu. Ibuku yang memasaknya.”
Apa Nu memberikan lauk-pauk kepada Rustam. Ia kemudian duduk di teras rumahnya sambil membaca koran. Rustam tidur di kasur seraya menatapi langit-langit kamarnya. Sudah dua bulan lebih aku tinggal di sini tapi aku tak pernah sekali pun menjenguk ibu Apa Nu yang sedang sakit, batin Rustam.
* * *
Selepas mengikuti kuliah, Rustam pergi ke supermarket untuk membeli roti, gula, dan buah-buahan. Setibanya di rumah, setelah memarkir sepeda motornya, Rustam menyambangi rumah Apa Nu. Dilihatnya dari jendela kaca, Apa Nu sedang tidur di depan televisi. Dengkuran Apa Nu terdengar begitu keras. Rustam tak peduli, ia tetap mengetuk pintu sambil mengucapkan salam beberapa kali. Apa Nu terbangun. Sambil membetulkan kain sarungnya, ia mempersilakan Rustam masuk.
Rustam duduk di kursi rotan di ruang tamu Apa Nu. “Saya ingin menjenguk ibu Apa yang sakit,” kata Rustam. “Apakah beliau sudah sehat?” Apa Nu mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.
“Namanya juga orang sudah tua. Ya, sakit-sakitan. Hari ini sehat, besok bisa jadi sakit lagi,” sahut Apa Nu.
Apa Nu bangkit dari tempat duduknya. Dia menuju ke dapur untuk membuatkan minuman.
Rustam penasaran dengan ibu Apa Nu yang, sejak kepindahannya ke sini, tak pernah ia jumpai. Rustam melangkah pelan dengan menjinjitkan kakinya menuju kamar di depan tempat duduknya. Pintu kamar itu tak tertutup rapat, sehingga ia bisa dengan mudah melihat isi di dalamnya hanya dengan sedikit mendorong pintu. Dia dapati sebuah bantal guling yang dipakaikan baju kebaya merah bercorak bunga-bunga, dan setengahnya lagi berselimutkan kain batik, dibaringkan di atas ranjang.
Banda Aceh, 6 Oktober 2013