Cerpen - Lelaki yang Selalu Berbagi

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Cerpen Aceh

Tak pernah hilang kekagumanku pada lelaki yang duduk di meja yang berhadapan dengan mejaku. Sejak aku mengenalnya dulu,  ketika masih  mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri dengan aku sebagai seniornya, aku hanya tahu bahwa dia memiliki prestasi bagus. Universitas kami sering mengirimnya ke luar daerah untuk mengikuti  English Debate Competition tingkat nasional. Selagi dia masih berstatus mahasiswa, selalu dia yang diandalkan. Meski tak pernah juara nasional, tapi dia adalah yang terbaik milik universitas kami.

Kini, aku dan dia bekerja di tempat yang sama. Aku lebih duluan tiga tahun. Awalnya, seperti sebelumnya saat  di kampus, aku juga tidak terlalu dekat dengannya. Dia bukan orang baru dan hampir sebagian besar orang di kantorku mengenalnya. Ya, karena banyak dari lulusan di jurusanku bekerja di  perusahaan tempat aku bekerja sekarang, sebuah perusahaan asing yang beroperasi di daerah, bukan ibukota negara.

Sebagai sebuah perusahaan asing, kami dibayar dengan gaji tinggi. Bolehlah, dengan sebentar bekerja, sudah bisa punya rumah baru dan mobil baru. Tapi,  itu tidak berlaku bagi lelaki yang duduk di   depan mejaku.

Dia selalu setia dengan sepedanya setiap kali ke kantor, meski beberapa rekan sekantornya sudah beberapa kali mengganti mobil. Sesekali ada juga teman sekantor mengguyoninya dengan pertanyaan: Apa tidak berencana beli mobil? Pak Anwar, bos kami, pernah menawarinya pinjaman tanpa ikatan batas waktu pengembalian jika lelaki itu ingin. Tapi,  dia menolak dengan halus.

Bertahun-tahun bersama, aku dan dia bukan lagi hanya sebatas hubungan senior dengan junior. Kami semua, sekantor, menjadi satu keluarga. Dia tetap lelaki sederhana dengan sepedanya dan sesekali dengan curahan tausiyah-nya. Di bulan Ramadan, di hari-hari tertentu, kantor kami mengadakan buka puasa bersama, terbuka untuk seluruh pegawai, staf, sampai tukang sapu, juga keluarga. Mulai dari keluarga atasan sampai bawahan. Bos kami, Pak Anwar, adalah tipe bos yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Apa yang terjadi di kantor tak pernah dicuekinya. Sapaan hangat senantiasa diberikan setiap pagi kepada siapa saja yang ditemukannya saat beliau memasuki kantor.

Meski sering mengisi ceramah agama, dia tidak mau dipanggil ustaz. “Saya tidak pantas dipanggil ustaz, ilmu saya masih sedikit, hanya setitik debu di bawah langit. Alasan kedua, karena istri saya tidak setuju saya menjadi ustaz. Kakeknya seorang ustaz, pemilik sebuah pesantren di Lombok Timur. Kakeknya menikahi tiga wanita. Mungkin itu sebab istri saya tidak setuju saya menjadi ustaz, he..he....” Meski penampakannya serius, tapi sesungguhnya dia seseorang yang suka bercanda. Jika ada pekerjaan serius di kantor dan membuat kening kami berlipat-lipat, dia suka melakukan tindakan konyol dengan mengirimi kami pantun jenaka ke email kami masing-masing. Dia pintar menulis puisi. Puisi-puisinya sering menghiasi inbox emailku. Karena dia tahu aku penikmat puisi yang tak pintar membuat puisi. Namun ketika deadline kantor, entah bagaimana bisa, puisi-puisinya berubah menjadi pantun jenaka. Tak hanya dikiriminya untukku, namun untuk semua pegawai kantor. Membuat kami tertawa untuk sejenak.

 Dia punya banyak anak. Ada belasan jumlahnya. Anak-anak yang dimaksud bukan anak kandungnya, melainkan anak angkat yang dia biayai sekolah bahkan sampai mereka kuliah. Yang lebih mengherankan, saat ini dia sedang membiayai kuliah pascasarjana seseorang yang tidak mampu secara biaya maupun fisik. Sementara dia saja masih dengan predikat sarjana.  Seseorang yang kuliahnya dibiayainya itu adalah penghafal 30 juz Alquran. Selain itu, dia juga punya teman yang mengelola sebuah panti asuhan. Aku yakin sumber dana panti asuhan tersebut juga berasal dari lelaki itu, meski dia tidak pernah mengatakan hal tersebut.

Salahkan kalau kemudian aku mengatakan bahwa dia adalah pegawai terkaya di kantor kami? Bahkan bos kami saja, yang tiap liburan semester anak-anaknya selalu berlibur ke luar negeri, punya dua rumah mewah, punya mobil mewah untuk setiap anggota keluarganya, tidak melakukan seperti apa yang dilakukan  lelaki itu yang  bawahannya.

Bertahun bersama, aku jadi tahu tentang satu cerita yang membuat lelaki itu senantiasa melakukan kebaikan. “Dulu keluargaku sangat miskin. Aku pernah satu hari tidak makan karena tidak ada yang bisa dimakan. Suatu hari,  orang tuaku pulang dengan tangan kosong. Tanpa membawa uang sepeser pun setelah lelah seharian mencari rezeki. Esoknya, mereka kembali menyambut hari dengan satu harapan semoga mereka menemukan uang. Sepertu biasa  aku selalu ditinggalkan bersama adik-adikku. Tapi hari itu kami ditinggalkan tanpa ada sesuatu pun yang dapat  kami makan. Kemudian aku gorengkan adikku sisa nasi kemarin yang telah dikeringkan dengan goreng sangrai tanpa minyak. Beberapa waktu kemudian, adikku menyerah pada nasib. Mereka meninggal,  karena kekurangan gizi pada hari yang bersamaan. Aku bersekolah atas belasan kasihan saudara-saudaraku yang juga sama miskinnya. Waktu SMP, ayahku meninggal. Aku melanjutkan SMA dan kuliah dari  beasiswa. Aku tak pernah membayar sedikit pun karena nilaiku yang memuaskan. Selesai kuliah, aku diterima bekerja di perusahaan ini, perusahaan yang memberiku beasiswa penuh sejak SMA hingga selesai kuliah. Sekarang aku bisa membiayai ibuku, menyekolahkan adik-adikku dan sedikit-sedikit membayar kasih sayang dari orang-orang yang menyayangiku. Aku tidak membayar tunai kepada mereka. Tapi aku membayar utangku kepada orang-orang yang tidak mampu, kepada anak yatim, kepada orang yang kesusahan. Aku sangat paham, alangkah sakitnya menjadi orang yang tidak mampu dan alangkah manisnya bantuan uluran dari orang-orang yang peduli. Inilah utangku yang harus kubayar.” Ketika dia selesai mengisahkan hal ini,  air mataku menetes

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :