Peukateun’ di Bulan Ramadhan

Ada fenomena yang berbeda di bulan Ramadhan kali ini. Perbedaan tersebut jelas terlihat pada sebagian kelompok masyarakat Aceh yang mengisi aktifitas puasanya, atau kita sebut peukateun orang Aceh, jika tidak ingin menyebut ‘penyakit’ dan ‘tabiat negatif’. Pada dasarnya tidak ada kosakata bahasa Indonesia yang cocok untuk memaknai istilah ‘peukateun’, walau kemudian digandeng sebagai makna karakter, tabiat atau perilaku yang condong kepada perbuatan negatif.

Sejak awal puasa, saban hari kita membaca di media tentang keresahan intelektual atau pemerhati sosial budaya Aceh terhadap perilaku generasinya dalam mengisi hari-hari di bulan mulia ini. Keresahan tersebut dimulai subuh hari dengan fenomena asmara subuh remaja putra-putri, i’tikaf online di warung Internet (warnet) di siang hari, atau ashabul kuphi dan tadarus online di warung kopi (warkop) pada malam hari.

Keresahan pemerhati sosial dan budaya disambut oleh para dai dan penceramah. Mereka pun memasukkan peukateun tersebut ke dalam tema ceramah Tarawih, ceramah setiap shalat fardhu, bahkan khutbah Jumat. Rasa geram dan cemas tersebut ditunjukkan dalam berbagai gaya ceramah mereka. Padahal, seharusnya ceramah dipenuhi dengan pencerahan fadhilat puasa dan wejangan yang berfaedah bagi jamaah yang hadir.

Fenomena di atas mengawali keingintahuan kita terhadap tradisi masyarakat Aceh sebelumnya (terdahulu). Pastinya, para endatu mewariskan suatu tradisi yang baik dan bermanfaat untuk generasi sekarang yang bisa diterapkan di bulan puasa. Melalui naskah kuno, tradisi tersebut digali untuk melihat fenomena para pelajar, pemuda dan ureung tuha (orang dewasa). Manuskrip dapat mengungkapkan pemikiran dan budaya yang ada pada waktu itu atau sebelumnya.

Tidak mudah menemukan tradisi tersebut, karena naskah Ramadhan sendiri pada umumnya membahas substansi puasa dan hal-hal yang berkaitan dengan puasa. Hingga akhirnya, ditemukan di setiap kolofon--catatan di halaman terakhir pengarang atau penyalin--naskah, bahwa sangat sedikit yang menuntaskan di bulan Ramadhan. Dengan kata lain, kaum terpelajar, alim, dan intelektual justru memulai menulis dan menyalin naskah pada bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan dijadikan sebagai basis untuk mendalami ilmu, membina spiritual, menulis dan menyalin kitab-kitab, dengan harapan dapat diselesaikan sebelum atau sesudah musim haji.

Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, menjadikan Sabang dan pesisir pantai Banda Aceh sebagai transito Internasional dan persinggahan jamaah haji dari seluruh wilayah Melayu-Nusantara, baik yang pergi atau kembali dari Haramayn. Inilah yang menjadi penyebab mengapa naskah Aceh yang disalin begitu cepat tersebar ke penjuru dunia melalui jamaah haji dari mana pun asalnya. Sehingga sangat wajar jika naskah-naskah Aceh banyak ditemukan di Moro Filipina, Thailand Selatan, Malaysia, Brunai, bahkan sampai ke Afrika Selatan sejak dahulu.

Naskah Hikayat Prang Sabi yang dikarang oleh Tgk Chik Pantee Kulu, misalnya, lahir karena terinspirasi dalam perjalanan kepulangan menunaikan ibadah haji, atas permintaan Tgk Chik Tanoh Abee. Saat itu ada krisis patriotisme melawan penjajah pada generasi muda. Ternyata tradisi penyalinan ulang kitab dilakukan di bulan Ramadhan di zawiyah-zawiyah. Setiap batalion silih berganti kembali ber’uzlah ke base camp masing-masing. Selain mendalami agama dan berkoordinasi strategi perang, mereka menyalin ulang naskah-naskah epic tersebut dan diperbanyak untuk dikumandangkan di setiap lapisan barisan perang. Buktinya, tak butuh dua tahun untuk dapat melahirkan karya-karya serupa seperti naskah Hikayat Prang Coumpani (Kompani), Hikayat Prang Ulanda (Belanda) dan Hikayat Prang Syahid. Karya mereka mampu mengobarkan semangat dan kesatria orang Aceh melawan penjajah.

Memang zaman sudah berubah dan berbeda. Perbedaan tersebut bukan berarti meruntuhkan semangat dan transmisi keilmuan yang ada. Perubahan itu juga semestinya dapat memberikan kemudahan dan kemajuan ke arah yang positif. Jika dulu mereka mampu menyalin kitab-kitab melalui tangan langsung dengan teliti dan sangat berhati-hati menghindari kesalahan tulis, semestinya kini kita juga mampu melahirkan karya yang lebih hebat, karena kemudahan teknologi yang kita gunakan dan nikmati.

Mungkin masih segar di ingatan setiap orang tua, guru, dan para pelajar beberapa tahun lalu, saat diterapkan liburan belajar mengajar sebulan penuh (Ramadhan) di lembaga umum dan agama, dalilnya untuk memberi kekhusyukan dalam beribadah di rumah masing-masing. Akibatnya, program tersebut menjadi bumerang bagi sebagian besar orang tua saat anaknya tak mampu dikontrol dan diawasi. Anak-anak justru banyak menghabiskan waktu di televisi, dari satu sinetron ke sinetron lain.

Hadirnya pesantren kilat hanya di bulan Ramadhan dengan tujuan sangat mulia, juga tak mampu menarik minat generasi muda sepenuhnya. Pembinaan yang tidak konsisten belum dapat membentuk keimanan seseorang secara instant dan berkesinambungan, apalagi tidak terkoordinasi dengan baik antara guru, lembaga dan orang tua si anak. Akibatnya, satu dengan lainnya melepaskan tanggung jawab.

Anehnya, kegiatan-kegiatan positif di bulan Ramadhan kian tahun kian berkurang peminatnya. Semangat beribadah di bulan Ramadhan jelas tampak menurun dan ketinggalan dibandingkan provinsi lain. Bahkan semakin terguras oleh hadirnya perkembangan zaman dan teknologi, seakan pemerintah dan lembaga terkait menjadi penonton. Padahal, seharusnya mereka merespons keresahan para intelektual dan tokoh agama (alim ulama) terhadap peukateun tersebut.

Jika demikian kritis penyakit yang merasuk generasi sekarang, lalu perlukah diadakan pengajian di warnet-warnet atau ceramah di warkop-warkop untuk beberapa menit, mengikuti jamaah yang mulai pindah tempat i’tikaf dari meunasah dan masjid? Atau pemerintah harus mewadahi berbagai kegiatan positif berorientasi keagamaan dan pengetahuan yang berkelanjutan (sustainable) dan dapat bermanfaat hingga berganti bulan Ramadhan?

Pastinya, pemerintah dan ulama berperan besar untuk menjadikan Ramadhan bulan beribadah, termasuk dengan menghasilkan karya-karya besar yang bermanfaat bagi umat, sebagaimana dilakukan para endatu masyarakat Aceh tempoe doeloe. Sikap sapeu buet sapeu pakat (seia-sekata) antara ulama dan umara, akan memudahkan pengontrolan perilaku generasi muda di zaman yang penuh tantangan ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :