Sebuah Bungkukan

KETIKA terdengar kabar di kampung kami akan kedatangan Gubernur maka gaduhlah segenap warga. Seluruh badan perkampungan di rias dengan pelbagai riasan. Disoleki macam putri hendak menerima suami. Segenap rumah diperbarui catnya, yang belum dicat sama sekali setidaknya membubuhi warna putih saja. Pagar-pagar rumah yang terbuat dari bambu semua diwarnai dengan semangat nasionalisme yang tinggi, merah sebilah, putih sebilah. Sang saka merah putih mulai nampak meliuk di depan semua rumah penduduk. Semangat sekali.
Sejumlah warga seperti Kamarudin, justru ia menambah satu persiapan lagi,yaitu menyiapkan sebuah bungkukan paling takzim kepada sang Gubernur. Tiap hari ia berlatih di meunasah bersama seorang kawannya yang entah paham atau tidak apa yang dilakukannya sebab kawannya itu pernah berulang kali dipasung. Dan ia begitu bangga ketika kemudian juga sang geuchik menunjukkan bahwa dialah satu-satunya orang yang akan mengalungkan bunga di leher Gubernur. Bermalam-malam ia berlatih cara mengalungkan bunga itu. Dibayangkannya wajah Gubernur yang bangga padanya. Tak lupa dihayalkan pula wajah puas Hindun, gadisnya.

Sangking lazatnya ia melakukan persiapan-persiapan itu banyak pekerjaannya yang terbengkalai. Tapi baginya tak apa, pertemuan dengan Gubernur itu jauh lebih penting dibandingkan dengan pekerjaannya sebagai pencari pala luruh saban pagi. Kala berpikir begitu ia semakin giat saja memoles latihannya.

Hari H kian dekat. Tak terasa hanya tersisa jarum jam berkeliling dua kali lagi. Hati Kamarudin kian tak tenang. Ia terbayang-bayang wajah Gubernur tersenyum padanya lalu mengajaknya duduk bersama. Atau bisa jadi Gubernur kami yang masyhur sebab rendah hati itu akan bertanya-tanya siapa namanya pada segenap warga. Aduhai, ia menjadi tak sabar menunggu hari itu tiba. Pasti saat dikalungkannya bunga itu setiap dara akan terkesima. Apalagi ia juga akan memainkan atraksi silat sebelum mengalungkannya. Wuih, namanya akan membengkak di warung-warung kopi di sepanjang kampung dan kecamatan kami.

Ada sebuah kebiasaan baru lagi hinggap di sikap Kamarudin yaitu bercerita tentang kebaikan sang Gubernur dimanapun dia mangkal. Jika di koran ada tertera berita tentang serombongan mahasiswa mendemo kantor Gubernur maka ia akan memaki-maki sikap mahasiswa itu. Katanya, orang-orang yang menggugat Gubernur itu hanya karena mereka tak puas, tak dapat jatah, atau karena dendam saja. Biasanya orang-orang hanya mengangguk antara enggan mendebat Kamarudin walaupun salah dan membenarkan jika mungkin saja ia benar.

Setengah hari lagi sisanya, ia begitu gelora berlatih. Hingga ia kecapaian. Dan ia tertidur sebelum azan asar menggema. Sebelum subuh Kamarudin sudah terbangun. Bergegas ia menuju masjid. Lepas berdoa dengan khusyuk ia pulang dan mandi lalu bersiap-siap dengan memakai baju adat yang dipinjamnya beberapa hari lalu di PKK.

Telah siap ia. Seperti kata Geuchik, pak Gubernur yang rendah hati itu akan tiba di kampung kami tepat pukul delapan pagi, tak lebih tak kurang. Maka ditatapnya jam dinding tua di kamarnya lama-lama, gebu itu rasanya hendak meledak saja.

Lima belas menit lagi, buncah ingin berjumpa sang Gubernur pujaannya mulai bocor dan gebu itu menampi-nampi darahnya. Ia meraih tengkuluk dan menyandang karangan bunga di bahu kanannya. Gagahnya Kamarudin pada pagi cerah ini. Ditujunya halaman Kantor Geuchik, sebuah gerbang yang telah menjuntai dedaun kelapa muda dan selintang tulisan SELAMAT DATANG PAK GUBERNUR di papan pintu gerbang.

Masih sepi, hampir-hampir tak ada orang di halaman Kantor Geuchik. Ia bersabar, mungkin saja orang-orang sedang berdandan, pikirnya. Namun telah lama ia di sana belum juga ada tanda-tanda pesta penyambutan. Telah sejam, diputuskan untuk bertanya saja pada Geuchik. Ia bergegas dari tempatnya.

Setibanya di sana, ia menemukan Geuchik sedang menikmati kopi pagi dengan hanya mengenakan sarung dan pakaian putih polos tipis. Maka langsung saja ditanya gerangan apa yang terjadi sebenarnya.

“Semalam telah ada pengumumannya, Din. Pak Gubernur urung datang karena mendadak ada hal yang mesti diselesaikannya hari ini juga di luar negeri. Tentu kamu maklum, bukan?

“Mengapa saya tak diberi tahu?” jawab Kamarudin kesal bercampur marah. Nada bicaranya mulai meninggi.

“Kau saja yang tak dengar. Buktinya hari ini tak ada siapapun yang protes selain kau.”

Kamarudin berang, tak sanggup lagi ditahan amarahnya. Maka ia mengambil bunga yang dibawanya itu dan dikalungkanlah bunga itu ke leher Geuchik. Tengkuluk di tangannya dibanting begitu saja. Istri dan anak-anak Geuchik terpingkal-pingkal di dalam rumah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Memberi komentar,saran dan kritik untuk kemajuan di blog ini di kolom komentar bawah ini :