Cerpen Surat dari Kamar Jeumpa

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Besok malam aku akan menjadi seorang anak manusia yang sangat bahagia. Sebab, hari ini aku baru saja menerima gaji dari hasil kerjaku yang begitu melelahkan. Ya, pekerjaan sebagai seorang tenaga marketing bank. Sungguh sebuah pekerjaan yang menuntut kesabaran tinggi dan tenaga yang ekstra. Dan buah dari kelelahan dan kesabaran itu akan kunikmati bersama ibu malam esok.

Aku mulai mengemasi barang-barangku. Menyatukannya dalam sebuah koper yang berukuran sedang. Tak ada satu pun barang yang lupa kumasukkan ke dalamnya, mulai dari pasta gigi hingga kado buat ibu. Penuh senyum saat kumasukkan semua benda itu ke dalam koper. Seraya memasukkannya, aku mulai menghayal senyum ibu yang akan mengembang di bibir manisnya.

Aku selesai mengemasi barang-barangku. Dan kini waktunya menghubungi mobil yang akan kutumpangi menuju Kuta Raja, tempat ibuku tinggal. Sesaat kemudian, orang mobil mengabariku bahwa mereka akan berangkat malam ini juga dan aku akan turut serta bersama mereka.

Petang merangkak perlahan-lahan. Menggeserkan sang surya yang cahayanya kian memuram. Aku baru saja selesai membersihkan diri. Seraya menunggu waktu keberangkatan, aku pun bersantai di depan rumah kontrakanku dengan segelas kopi tubruk. Baru saja berapa teguk kuminum kopi ala Aceh Selatan itu, tiba-tiba seorang memarkirkan sepedamotornya tepat di halaman rumah kontrakanku.

“Saudara Muzakir?” tanya lelaki jangkung itu sambil membuka pintu pagar.

“Ya, benar saya Muzakir,” jawabku sambil meletakkan gelas kopi ke panteu tempat kududuk tadi.

“Ini ada surat buat Anda.”

Tanganku meraih surat yang diberikan oleh lelaki jangkung itu sambil mengerutkan dahi.

Dalam keheranan itu aku pun menyempatkan diri bertanya pada lelaki jangkung itu,

“Surat dari siapa?”

“Emm, saya tidak tahu juga dari siapa. Yang saya tahu orang kantor menyuruh saya mengantarkan surat ini ke alamat ini,” jawab lelaki jangkung itu sambil mengarahkan telunjuknya pada bidang papan yang terdapat nama jalan dan nomor rumah kontrakanku yang menempel tepat di tiang panteu.

Kami sama-sama terdiam. Aku terdiam dalam balutan keheranan dan si lelaki jangkung itu terdiam dalam kekusyukannya menatap jemariku yang begitu lincah menandatangani borang penerimaan surat. Ia beranjak dari hadapanku. Dan aku kembali ke panteu.

Aku mulai melafalkan empat kata yang tertulis pada amplop surat: Surat dari Kamar Jeumpa. Perlahan-lahan kubuka amplop tersebut dan kukeluarkan isi yang ada di dalamnya.

“Kepada Muzakir, dari Mak di kamar Jempa rumah sakit Kesdam,” bacaku dalam hati. Suhu badanku langsung berubah ketika membaca tiga kata terakhir itu. Aku langsung memburu isi surat tersebut.

“Anakku tersayang, sudah seminggu Mak berada di rumah sakit Kesdam, tepatnya di kamar Jeumpa. Penyakit Mak kambuh lagi. Mak sengaja tidak memberitahu padamu tentang ini karena Mak pikir ini akan segera berakhir. Tetapi, pikir Makmu ini salah. Dan kini Mak begitu merindukanmu, maukah kamu cuti sebentar saja untuk menjenguk Makmu ini? Mak begitu sangat merindukanmu, Zakir. Sungguh! Setidaknya sebelum Mak pergi, Mak sempat melihat wajahmu. Salam, Mak.”

Bola mataku memerah. Aku hendak menangis, namun kutahan. Segera kuhubungi Waklah, lelaki yang kegilaannya mengendarai sepedamotor sudah terkenal ke seantero kecamatan. Beberapa saat kemudian, ia muncul di hadapanku.

“Ada apa, Kir?” tanya Waklah.

“Sore ini aku membutuhkan jasamu. Sore ini kau harus mengantarkanku ke Kuta Raja. Ibuku sakit di sana.”

“Ta.. ta.. pi… Kuta Raja jauh sekali, Kir?”

“Berapa aku harus membayarmu? Berapa pun yang kau minta aku akan membayarnya.”

Hanya senyuman yang Waklah berikan padaku. Ia langsung menghidupkan sepedamotornya.

“Kau tunggu di sini sebentar, aku mau masuk ke dalam dulu mengambil uang dan sesuatu yang berharga.”

Aku mulai mengamankan diri di belakang Waklah. Untuk kali ini aku tak menganggapnya “gila” untuk urusan mengendarai sepedamotor. Dari belakang Waklah aku menyempatkan diri melihat jarum amper yang ada di atas stang motornya itu. Kulihat jarum itu menari-nari pada angka 140 dan 150. Sungguh kencang! Sungguh gila! Tapi tak apa-apa, karena keadaan genting.

Desa-desa telah kami lalui. Kecamatan-kecamatan telah kami sebrangi. Kabupaten-kabupaten pun telah kami lewati. Satu jam lagi kami akan tiba di Kuta Raja. Tinggal menghitung detik. Tinggal menghitung menit. Roda kendaraan Waklah terus berguling menuju tempat tujuan. Dan akhirnya kami pun tiba di tempat tujuan, Rumah Sakit Kesdam.

Aku berlari-lari kecil menuju ke salah seorang tentara yang berada di pos penerima tamu. “Samlekom, Pak. Saya mau bertanya, Paviliun Teuku Umar, kamar Jeumpa, ada di mana, Pak?” tanyaku terburu-buru.

Pak Tentara itu langsung menjelaskan padaku seraya mengarahkan telunjuknya ke koridor yang menuju ke kamar Jeumpa.

“Terima kasih banyak, Pak!”

Aku langsung memanggil Waklah yang kala itu tengah asyik ngobrol dengan seorang janda dan mengajaknya menuju kamar yang kumaksud. Aku tiba di kamar yang kumaksud. Setelah kuucapkan salam, langsung kubuka pintu kamar Jeumpa. Aku terdiam. Orang-orang yang berada di kamar Jeumpa bukanlah orang-orang yang kukenal. Bukan keluargaku. Dan yang terbaring di atas kasur pesakitannya bukan ibuku. Oh, Tuhan, kemana ibuku?

Langsung kutemui perawat yang berada di samping kamar Jeumpa. Aku menanyakan makku. Dan mereka langsung mencari nama mak di buku tamu.

“Pak, ibu Anda telah pergi seminggu yang lalu,” ucap perawat tersebut begitu santai.

Aku terdiam dan meneteskan air mata tanpa bertanya lagi pada si perawat maksud kata perginya itu; pergi ke Rahmatullah atau pergi pulang ke rumah. Aku meninggalkan perawat tersebut dengan jiwa yang dibalut kesedihan yang mendalam.

Sambil meneteskan air mata aku berkata pada Waklah, “Kita pulang ke rumahku sekarang.”

Kami pun tiba di rumah. Dengan langkah yang begitu lunglai dan air mata yang terus bercucuran, aku kini telah berada tepat di depan pintu rumahku. Setelah mengucapkan salam, seseorang membukakan pintu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah perempuan yang membukakan pintu untukku.

“Maaaakkk?”

Aku langsung memeluk mak begitu kuat. Seraya menangis hebat.

“Kenapa kamu menangis, Kir?”

“Kemarin Zakir menerima surat, Mak. Di surat itu berkabar bahwa Mak sakit. Dan Zakir langsung kembali ke sini hendak menemui Mak. Ketika Zakir berada di rumah sakit tempat Mak dirawat, kata mereka Mak telah pergi. Zakir begitu sedih, Mak. Zakir kira Mak telah pergi ke pangkuang Ilahi,” jawabku sambil menyeka air mata.

“Betul, seminggu yang lalu Mak sakit dan Mak juga memesanmu. Tapi surat itu sudah seminggu yang lalu dikirim. Dan sekarang Mak sudah sehat-sehat walafiat,” ucap Mak seraya mengembangkan senyumnya.

Aku terdiam. Mendengar penjelasan dari Mak ternyata surat tersebut telah dikirim Mak seminggu yang lalu. Dan dalam keterdiamanku itu aku menyesali orang yang telah berbuat salah dalam hal ini.

“Ah, untung saja Makku masih bisa kulihat, kalau tidak aku bersumpah akan menuntutnya sampai ke akar-akarnya,” ucapku dalam hati sambil tertawa geli.

Aku pun memanggil Waklah yang sedang asyik ngobrol dengan jandanya lewat telepon seluler dan mengajaknya masuk ke rumah.

Cerpen Cut Perbu

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Bruuum. Bus berjalan dengan mulus di atas aspal hitam. Para murid SMP Al-Fikri di dalam mobil mendendangkan lagu Bungong Jeumpa dengan semangat. Mereka akan pergi ke rumah Cut Nyak Dhien di Desa Lampisang, Kecamatan Lhoknga, untuk bertamasya. Tak lama, mereka pun sampai di rumah tradisional Aceh tersebut. “Jangan berpisah, ya! Kalau mau pergi ke mana-mana harus tetap sama-sama,” pesan Bu Fatimah, guru yang mendampingi mereka.

“Siap, Buuu!” koor para murid. Mereka memasuki rumah Cut Nyak Dhien. Berkeliling dari satu sudut ke sudut lainnya, sampai akhirnya menemukan sebuah sumur. “Apa tuh, isinya?” tanya Mutia. “Ke sana yuk!” ajaknya..

“Yuk!” mereka pun melangkah menuju sumur tersebut. Mutia paling depan. Dia pernah mendengar sebuah cerita dari banyak orang, bahwa beberapa orang pernah terjatuh ke dalam sumur tersebut. “Eiiit!” Bu guru kaget melihat muridnya yang berkerumun di sekitar sumur. “Jangan terlalu dekat! Bahaya!” seru beliau. Mutia yang saking senangnya tak mendengar pesan Bu Fatimah. Dia menatap ke dasar sumur. “Haloo… ini Mutiaaa..” Mutia berteriak di dalam sumur. Suaranya bergema, berulang-ulang. Mutia terkikik-kikik.

“Mutia! Kata Bu Guru jangan terlalu dekat! Nanti jatuh!” Salah satu temannya mengingatkannya, sambil menutup sekeliling bibirnya dengan kedua jari telunjuknya, takut ada orang yang mendengarnya. “Enggak kok!” seru Mutia bandel. Dia tambah dekat lagi ke mulut sumur. Sampai akhirnya, Mutia nekat memasukkan setengah badannya dan kemudian terjatuh!

“AAAA!!!” Mutia berteriak. ZEP! Dengan sigap, seseorang temannya lengannya. Untunglah… Semua teman-temannya mengelus dada. Keringat Mutia bercucuran. “Sudah ibu bilang, kan! Kalau lihat sumur itu jangan terlalu dekat! Untung saja kamu tidak masuk ke dalam! Ucapkan terima kasih dulu pada Cut Perbu!” perintah Bu Fatimah.

“Haaa?” Mutia bengong. “Cut.. Per… Perbu?” tanya Mutia. “Iya! Dia yang sudah menolong kamu!” kata Bu Fatimah. Mutia menatap wajah Cut Perbu. Entah mengapa, Cut Perbu tampak senang sekali ketika melihat Mutia. Mutia pun mengucapkan terima kasih kepada Cut Perbu. Dia hanya mengangguk. Cut Perbu begitu cantik. Kulitnya yang kuning langsat dan juga bersih memberikan efek bercahaya.

Dengan cepat mereka melupakan semua kejadian itu dan kembali berkeliling di rumoh Aceh. Mutia dan Cut Perbu berjalan bersama sambil bergandengan tangan. “Cut, aku ingin sekali menuliskan sebuah kisah tentang Cut Nyak Dhien, tapi aku belum punya pengetahuan banyak tentang Pahlawan Nasional itu,” keluh Mutia. Cut Perbu tersenyum. “Mungkin aku bisa menceritakan sedikit tentang masa lalu Cut Nyak Dhien. Kamu mau mendengarkannya?” ujarnya. “Mau!” seru Mutia cepat. “Ceritakan padaku, mungkin akan jadi inspirasiku untuk menuliskan suatu kisah menarik tentang dirinya,” sambungnya.

Cut Perbu menceritakan kisah Cut Nyak Dhien, dari masa kanak-kanaknya, saat berperang melawan Belanda, membangkitkan semangat masyarakat Aceh, kemudian ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sumedang. Di sana, ia dititipkan oleh Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama. “Kamu tahu banyak,” puji Mutia. “Ya, begitulah,” jawab Cut Perbu. “Buatlah cerita yang bagus. Aku ingin kamu jadi seorang penulis. Kamu sering menang lomba membuat cerpen, kan?” Mutia mengangguk. “Pasti, akan kubuat untukmu.” “Kalau bisa, kamu buat cerita yang bisa menambah semangat orang Aceh buat berperang.” Pesan Cut Perbu. “Berperang? Memangnya masih ada orang Belanda, ya?” tanya Mutia nakal.

Cut Perbu tertawa kecil. Dia memukul pundak Mutia. “Maksudnya berperang melawan kebodohan. Soalnya, itulah salah satu impian Cut Nyak Dhien. Sekarang tidak ada lagi penjajahan Belanda, yang ada adalah penjajahan kebodohan.” Mutia yang tidak terlalu mengerti mencoba memahami maksud Cut Perbu. Dia heran, Cut Perbu tampak begitu dewasa dan berpengetahuan. “Masihkah kamu membaca puisi ‘Wanita Dari Lam Padang’? tanya Cut Perbu mengagetkan Mutia.

“Ya! Sangat suka!” jawab Mutia bersemangat. “Dari mana kamu tahu kalau aku sering membacakannya?” “Aku sering mendengarnya.” “Lho? Kapan?” Mutia tak percaya. “Setiap kali kamu membacanya, aku selalu mendengarnya,” kata Cut Perbu mantap. Mutia memang sering membaca puisi itu. Setiap ada perlombaan membaca puisi, dia selalu membacakan puisi karangan LK Ara itu. Bagian yang sangat disukainya ialah: ketika remaja/ia bukan gadis manja/ringan tangannya/bergunjing ia tak suka/tak sombong ia/tekun belajar agama. Bahkan, saking sukanya, dia sampai menghafal bait tersebut. Hihihi…

Setelah semua bagian dari rumah Cut Nyak Dhien dijejaki, mereka pun pulang. Sesampai di rumah, Mutia masih memikirkan Cut Perbu, beserta pesan-pesannya. “Bagaimana? Seru?” tanya ibu. “Ya. Sangat seru!” Mutia menguap. “Aku lelah.”

“Tidurlah,” ujar ibu. Mutia berjalan ke arah kamarnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Perlahan, matanya tertutup dan terlelap dengan cepat.

***

Mutia membuka kedua kelopak matanya. Lalu melihat ke sekeliling. “Kok?” Mutia bingung. Dia segera bangun dari kasur yang dia tiduri, menatap ke seluruh penjuru ruangan, serba putih, berbau obat, dan dia juga melihat beberapa wanita berbaju serba putih dengan peralatan medis di tangan mereka. “Aku, di mana?” tanya Mutia kebingungan. Ibunya memeluk Mutia dengan erat. “Kamu di rumah sakit Nak, tadi terjatuh ke dalam sumur.”

“Lho? Enggak!” seru Mutia sambil melepaskan pelukan ibunya dan melompat dari atas tempat tidur. “Aku selamat tadi! Ada yang menolongku!” Mutia menatap Bu Fatimah, minta dukungan. Tapi guru itu hanya diam dan tampak senang melihat Mutia telah sadar. “Iya kan, Bu Guru?” tanya Mutia. Bu Fatimah menggelengkan kepalanya. “Tak ada yang menolongmu.”

“Ada!” Mutia ngotot. “Cut Perbu yang menolongku!” serunya. “Siapa Cut Perbu?” Bu Fatimah keheranan. “Temanku! Satu sekolah juga! Kan Ibu yang kenalin dia sama aku tadi, di rumah Cut Nyak Dhien!” Bu Fatimah tertawa. “Ada-ada saja kamu! Tidak ada yang namanya Cut Perbu! Mungkin kamu mimpi. Di sekolah kan cuma ada tiga cut: kamu, Cut Meurah, dan Cut Khairani. Tidak ada Cut Perbu. Tadi kamu jatuh ke dalam sumur, lalu diangkat oleh beberapa pemuda desa pakai tali, lalu kami bawa ke rumah sakit ini,” jelas Bu Fatimah panjang lebar. Mutia masih bingung. Terbayang wajah cantik Cut Perbu di kepalanya, pesan-pesannya kembali terbisik dalam benaknya.

Segera dibukanya laptop dan internet, lalu dicari data tentang Cut Nyak Dhien. Saat membaca kisah Cut Nyak Dhien di Sumedang, Mutia terkejut, ada tulisan “Perbu.” Perbu merupakan bahasa Jawa, yang berarti ratu. Ibu Perbu artinya Ibu Ratu, merupakan panggilan akrab untuk Cut Nyak Dhien selama diasingkan di Sumedang. Mutia merinding sejenak, lalu meneteskan air matanya.

Cerpen Adakah Kerajaan Lamuri?

Cerpen karya Aneuk Aceh - Pelestarian pusaka (warisan budaya), baik alam maupun budaya hingga saat ini belum dianggap sebagai hal penting. Ada berbagai alasan yang dikemukakan, mulai dari anggapan bahwa pelestarian adalah antikemajuan hingga pada anggapan bahwa pelestarian tidak menguntungkan secara ekonomis. Dengan demikian, dianggap kecil kontribusinya bagi kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, di beberapa negara maju, pelestarian warisan alam dan budaya, baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (non-bendawi) justru memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakatnya, seperti negara Perancis.

Aceh sebagai daerah yang memegang peranan penting dalam perjalanan sejarah di Nusantara, juga memiliki banyak aspek peninggalan sejarah dan kebudayaan, baik sebelum, selama, maupun sesudah kesultanan Aceh. Satu di antara warisan sejarah Aceh adalah bekas kerajaan Lamuri, yang sekarang nasibnya terancam dipunahkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Menurut R.A. Hoesein Djajadiningrat, pendiri Kesultanan Aceh Darussalam ialah Sultan Ali Mughayat Syah pada sekitar tahun 1514M. Dengan dikuasainya Malaka oleh Portugis pada tahun 1511M, menyebabkan saudagar Muslim datang ke Aceh. Kerajaan Aceh pun berkembang menjadi tempat perdagangan yang ramai. Saudagar-saudagar muslim, baik dari Barat maupun Timur menggunakan Aceh sebagai pengganti Malaka untuk tempat berdagang dan tempat secara intensif menyebarkan agama Islam. Keadaan seperti itu tidak disia-siakan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Dia memanfaatkannya untuk membina kesultanan agar benar-benar kuat.

Aceh sudah dikenal sejak permulaan terbentuknya jaringan-jaringan lalu lintas internasional (+ abad I Masehi). Berita tertua dari Dinasti Han (abad I-VI Masehi) menyebutkan negeri yang bernama Huang-Tsche. Menurut catatan Cina tersebut, penduduk negeri itu sama dengan penduduk Hainan. Mereka hidup dari berdagang dan perampokan. Kaisar Wang Mang dari Dinasti Han meminta kepada penguasa negeri ini untuk mengirimkan seekor badak. Tempat itu identik dengan Aceh berdasarkan letaknya.

Sementara berita tentang Poli dijumpai dalam catatan Cina. Berita pertama terdapat dalamcatatan Dinasti Leang (502-556 M), Dinasti Sui (581-617 M), dan berita terakhir dari catatan Dinasti Tang (618-908 M). Mengenai letak tersebut memang belum ada kata sepakat para ahli. De Casparis mengatakan bahwa Poli tidak kurang pentingnya dan menggemparkan. Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Dalam-Puri yang disebut Lamuri oleh orang-orang Arab dan Lambiri oleh Marco Polo.

Sejauh mana Poli itu identik dengan Lamuri, seperti yang dikemukakan oleh De Casparis, masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Dalam naskah-naskah Aceh disebutkan bahwa Kerajaan Lamuri yang dieja dengan l.m.r.i. antara m dan r tidak terdapat tanda vokal, sehingga jika dituruti cara mengeja dalam naskah, tidak mungkin bahwa nama itu akan dibaca Lamuri atau Lamiri. Sementara dalam buku Sejarah Melayu, Lamuri disebut dengan Lamiri (L.m.y.r.y).

Berita tertua mengenai Lamiri berasal dari Ibnu Khordadhbeh (844-848), Sulaiman (955), Mas’udi (943), dan Buzurg bin Shahriar (955). Semuanya penulis Arab. Mereka menyebutkan Lamuri dengan nama Ramni dan Lamuri, sebuah daerah yang menghasilkan kapur barus dan hasil bumi penting lainnya. Mas’udi menambahkan pula bahwa Ramni pada waktu itu takluk di bawah Mahara Sriwijaya.

Sementara itu, sumber dari Cina tentang Lamuri yang paling tua berasal dari tahun 960M. Dalam catatan Cina sudah disebutkan dengan nama Lanli, sebuah tempat yang dapat disinggahi oleh utusan-utusan Parsi yang kembali dari Cina sesudah berlayar 40 hari lamanya. Di sana mereka menunggu musim teduh untuk seterusnya berlayar lagi ke negeri asal mereka.

Seterusnya Chau-Yu-Kwa dalam bukunya Chu Fan-Shi yang terbit pada tahun 1225 M, menyebutkan bahwa di antara jajahan-jajahan San-fo-ts’i (Sriwijaya) termasuk juga Lan-wu-li, yang diperkirakan adalah Lamri. Raja Lan-wu-li disebutkan belum beragama Islam, memiliki dua buah ruang penerimaan tamu di istananya. Apabila bepergian diusung atau mengendarai seekor gajah. Selanjutnya, apabila dari negeri ini seorang bertolak di musim timur laut maka ia akan tiba di Ceylon dalam waktu 20 hari. Pada tahun 1286, Lan-wu-li bersama-sama Su-wen-ta-la mengirim utusan ke negeri Cina dan berdiam di sana sambil menunggu kembalinya ekspedisi Kublai Khan dari Jawa.

Ketika Marco Polo pada tahun 1292 M tiba di Jawa Minor (Sumatera), ia mendapatkan delapan buah kerajaan, di antaranya Lamri. Kerajaan ini katanya tunduk kepada Kaisar Cina dan mereka diwajibkan membayar upeti. Pada tahun 1310 M, seorang penulis Parsi bernama Rashiduddin, menyebutkan untuk pertama kalinya bahwa tempat-tempat penting “di pulau Lumari yang besar itu” selain Peureulak dan Jawa adalah Aru dan Tamiang.

Sejak tahun 1286, Lamri telah mengirim utusan-utusannya ke Cina. Dalam buku Dinasti Ming disebutkan bahwa pada tahun 1405 M telah dikirim ke Lam-bu-li sebuah cap dan surat, sementara pada tahun 1411M negeri ini mengirimkan utusan ke Cina untuk membawa upeti. Perutusan itu tiba bersamaan dengan kunjungan perutusan Klantan dan Cail, kemudian kembali bersama-sama ekspedisi Cheng Ho. Pada tahun 1412M, raja Maha-Ma-Shah (Muhammad Syah) dari Lam-bu-li bersama-sama Samudera mengutus sebuah delegasi ke Cina untuk membawa upeti. Di antara utusan-utusan Lam-bu-li ke Cina yang secara teratur dikirim setiaptahun terdapat nama Sha-che-han putera Mu-ha-ma-sha. Ketika Cheng Ho pada tahun 1430 membawa hadiah-hadiah ke seluruh negeri, Lamri pun memperoleh bagian pula. Ada kemungkinan bahwa pengiriman hadiah-hadiah itu bukan untuk pertama kalinya, karena lonceng Cakra Donya yang dahulunya tergantung di istana sultan Aceh dan sekarang disimpan di Museum Aceh dengan tulisan Cina dan Arab padanya dibubuhi angka tahun 1409M.

Catatan yang tercantum dalam buku Ying-Yai-Sheng-lan oleh Ma-Huan, disebutkan bahwa Lamri terletak “Tiga hari berlayar dari Samudera pada waktu angin baik.” Negeri itu bersebelahan pada sisi timur Litai, bagian utara dan barat berbatas dengan laut Lamri (laut Hindia), dan ke selatan berbatas dengan pegunungan. Berdasarkan berita Cina itu, Groenevelt mengambil kesimpulan bahwa letak Lamri di Sumatera bahagian utara, tepatnya di Aceh Besar. Berita dari Cina itu juga mengatakan bahwa Lamri terletak di tepi laut.

Di antara penelitian yang menyebutkan bahwa Lamri sebuah kerajaan yang terletak di Aceh Besar adalah M. J. C. Lucardie dalam karangannya “Mevelies de Lindie”, penerbitan van der Lith 1836M. Dia menyebutkan bahwa Lamreh yang terletak dekat Tungkop, besar kemungkinan adalah peninggalan dari kerajaan Lamri. Tome Pires dalam karangannya mengenai pulau Sumatera menyebutkan bahwa di pantai utara daerah Aceh terdapat 6 reinos dan 2 terras, yaitu reino de Achey e Lambry, terra de Biar, reinos de Pedir, terra de Aeilabu, reino de Lide, reino de Pirada, reino de Pasee. Nama-nama tersebut dengan mudah dapat dikenal karena masih dipakai sampai sekarang, yaitu Aceh, Lamri, Biheue, Pidie, Ie Leubeue, Peudada, dan Pasee.

Dalam naskah Hikayat Aceh juga disebutkan tentang nama teluk Lamri dan dalam buku Ying-Yai-Sheng-Lan 1416M disebut pula laut Lamri yang terletak di tepi pantai atau teluk. T. Iskandar mengatakan bahwa Lamri terletak dekat Krueng Raya sekarang, yang teluknya dinamakan dengan nama yang sama. Desa Lamreh pun terletak tidak begitu jauh dari Krueng Raya. Sekitar 500 meter dari Krueng Raya terdapat sebuah reruntuhan bangunan dan sekitar 6 km dari tempat tersebut terdapat pula bangunan yang sampai sekarang dikenal dengan nama Benteng Indrapatra.

Pada akhir abad XV pusat kerajaan Lamri dipindahkan ke Makota Alam (Kuta Alam) yang terletak pada sisi utara Krueng Aceh di lembah Aceh. Pemindahan itu disebabkan karena adanya serangan dari Pidie dan pendangkalan muara sungai yang mengalir melalui pusat kerajaan Lamri, sehingga tidak begitu baik lagi untuk kepentingan pelayaran. Sejak itu, Lamri lebih dikenal dengan nama kerajaan Makota Alam.

Cerpen Mantan Pejabat

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Usianya tak terasa sudah mencapai kepala enam. Padahal, rasanya ia belum lama menjadi pejabat penting. Telpon sehari hanya dua kali berdering. Dari anaknya yang masih kuliah, atau dari sesama mantan yang kesepian. Padahal, ketika ia menjadi pejabat, setiap lima menit sekali teleponnya berdering. Bahkan ada pula yang nekat menelponnya tengah malam. Rasanya waktu itu sibuk sekali. Tapi semua telpon berurusan dengan proyek.

Yang tampak tidak siap adalah istrinya. Istri mantan itu merasa dihempaskan begitu saja, dari puncak gunung ke lembah curam. Tiada senyum ibu-ibu arisan. Tiada sanjung puja ibu-ibu yang butuh pertolongan. Bahkan sangat sepi dari bingkisan-bingkisan ataupun cenderamata.

Anaknya tujuh, semua masih mentah. Masih sangat jauh diharapkan jadi pewaris tongkat estafet kedudukannya. Sebutan anak pejabat berlalu sudah. Anak-anaknya tidak lagi banyak teman.

Malam itu ia sedang baca koran. Sengaja ia pilih artikel yang ringan-ringan, yang tidak ada kaitannya dengan dunia pemerintahan maupun politik. Seperti biasa, istrinya menemani dengan gaya istri seorang pejabat. “Mestinya bapak mencari kesibukan lain,” kata istrinya tiba-tiba. “Kesibukan gimana?” tanya suaminya seraya melipat-lipat koran. “Orang lain pun banyak yang mantan, tapi mereka berusaha bekerja lagi di perusahaan lain.”

“Aku sudah lelah Bu, makanya pemerintah memberikan hak pensiun padaku. Itu agar aku istirahat!”

“Tapi kebutuhan kita masih banyak, Pak?”
“Waktu aku masih jadi pejabat, ibu pun selalu mengatakan begitu!” kata dia seraya mengambil air minum di cangkir antik kesayangannya. “Wong kita ini masih hidup, tentu banyak saja kebutuhan!”

“Kalau hanya untuk makan saja, gaji pensiunanku pun cukup? Habis, untuk apa lagi?”

Istrinya cemberut tak senang. “Lihat Pak Darto, Pak Kamrin, Pak Duleng, mereka pun mantan seperti bapak. Tapi mereka semua bekerja lagi di perusahaan swasta. Kalau bapak mau bekerja, toh banyak bekas anak buah bapak yang dulu merengek-rengek minta proyek. Saatnya mereka membalas jasa kebaikan kita.”

“Jadi, aku harus menghinakan diri untuk jadi anak buahnya?”
“Yang penting halal!”
“Aku tidak mau diperbudak oleh uang!”
“Tapi kita masih memerlukan uang banyak!”
“Kau saja yang berusaha, jual semua tanah simpanan! Buka PT, kau direktrisnya. Saya ingin istirahat!”
“Itukah tanggung jawab seorang suami?”
“Ya!”
Esoknya sang istri benar-benar menjual semua simpanan tanah, termasuk bukit-bukit yang tidak produktif. Dengan tekad keras, dibukanya sebuah PT. Kemudahan ternyata dengan menjual nama mantan suaminya.
Suaminya tak pernah ikut campur. Sehari-harinya hanya menyetel lagu-lagu klasik, nonton video noltalgik, dan bermacam-macam hiburan lainnya. Ia tidak perduli bahwa istrinya sibuk.
Enam bulan kemudian. Di suatu malam, istrinya mengajak kembali berbincang-bincang.
“Tender besar itu jatuhnya ke tangan orang lain! Bapak tahu kan kepala bagian yang menangani proyek itu?” kata istrinya. “Siapa, ya?” suaminya berbalik tanya.
“Dulu kan dia pernah merengek-rengek ke kita untuk menjadi kepala bagian. Eh, sekarang melihat sebelah mata pada kita. Macam-macam saja alasannya!”
Suaminya hanya manggut-manggut.
“Kita hanya diberi proyek perbaikan gorong-gorong, perbaikan pagar-pagar kota, dan yang kecil-kecil lainnya!”
“Itu pun sudah bagus!”
“Bagus? Apanya yang bagus? Kita dihina orang!”
“Biarlah.Yang penting hidup kita bersih!”
“Bersih? Bersih apanya? Saya tahu persis dulu bapak sering menerima uang bingkisan. Kenapa kita sekarang harus sok alim?”
“Itu dulu. Dan itu bukan korup. Toh mereka memberikan padaku berdasarkan kerelaannya. Aku tak pernah minta.”
“Anak kita butuh biaya kuliah. Hampir puluhan juta rupiah tiap tahun, bayangkan!”
“Kenapa bingung? Tangani saja secara bijaksana!”
“Kau tampaknya sudah apatis, Pak?”
“Ya.”
“Kenapa jadi berubah tiba-tiba?”
“Ini hati nuraniku yang sebenarnya!”
“Kalau dulu-dulu, apa itu bukan hati nuranimu yang sebenarnya, Pak?”
“Yang dulu-dulu bukan. Melainkan permainan sandiwara, karena jadi pejabat berarti harus pandai bermain di panggung sandiwara. Tapi, kalau sudah mantan, pemainan itu harus benar-benar kujauhi. Lagi pula, siapa yang mau peduli sama mantan? Seperti apa yang telah kukatakan tadi, aku ingin kembali ke hati nuraniku yang sebenarnya. Hati yang tenang, yang tak terusik oleh permainan busuk dan akal-akalan.”

Istrinya terdiam. Mungkin ia terdesak, atau kehabisan kata-kata. Sesaat suasana pun hening. Namun di lubuk hati mereka seakan tetap bergolak, karena ambisi yang terpenjara terus memberontak.
“Apa kau akan membiarkan istrimu bangkrut?” kata istrinya memecah kebisuan.
“Itu kan gagasanmu? Manajerialmu?Mengapa harus melibatkan aku?”

“Baiklah! Kalau begitu aku tidak akan peduli lagi apa kepentinganmu. Aku tidak akan menyediakan ini-itu untuk kepentinganmu. Jangan ikut makan rezeki untuk anak kita. Makansaja dari pensiunmu itu. Kita satu atap, tapi sebenarnya kita sudah pisah!” ujar wanita itu dengan nafas memburu penuh marah.

“Akan kujual rumah ini untuk kujadikan modal. Dan ini harus segera kulakukan. Suamiku kini sudah impoten, loyo! Sebentar lagi pun mati konyol!” lanjut wanita itu mencak-mencak.
Dan ketika kata terakhir diucapkan, jantung lelaki itu benar-benar berhenti. Istrinya terkejut Dia menyesal dengan kata-katanya.

Cerpen Mati Lampu

Cerpen karya Aneuk Aceh - Sial!” Din kembali mengutuk PLN karena lampunya mati tiba-tiba. Mesin printer baru mencetak setengah dari kertas. Lembaran itu kini bahkan tersangkut di mesin. Sambil menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, dia menghela nafas dengan berat. Pukul 10.00 WIB dia harus menjumpai Pak Faisal, dosen pembimbing skripsi. Din hanya memiliki waktu 20 menit lagi untuk menyiapkan BAB III skripsinya. Din gusar mengingat Pak Faisal terkenal sebagai dosen yang berdisiplin waktu. Satu menit saja melenceng dari janji marahnya minta ampun.

Tanpa pikir panjang, Din segera beranjak dari rumah setelah sebelumnya buru-buru mencuci muka dan gosok gigi. Bu Aisyah, Mamaknya Din, yang sedang menyapu rumah hanya bisa geleng-geleng kepala. “Kalau sudah mati lampu, baru kau sibuk!” celetuk Bu Aisyah. Terang saja sang bunda kesal. Sudah beberapa kali diingatkan untuk tak lalai membuat skripsi. Tapi, Din, anak semata wayangnya itu, memang sibuk sendiri saban hari di warung kopi. Ditegur sang bunda, Din cuek saja. Dia bahkan buru-buru menghidupkan sepedamotornya menuju sebuah rental komputer di Darussalam.

***

Dua hari yang lalu, Din sudah pergi ke kampus. Bagi mahasiswa angkatan tua seperti dirinya, alasan mengunjungi kampus hanya dua: Mengurus beasiswa atau mengikuti bimbingan skripsi. Tidak ada aktivitas lain. Din juga malu, karena banyak teman seangkatannya yang telah diwisuda. Beberapa teman perempuan bahkan telah menikah dan punya anak. Dan yang lebih menyakitkan kalau ada teman yang bertanya, “Belum selesai juga kau, Din?”

Baru saja memasuki gerbang kampus, Din berpapasan dengan adek letingnya. “E, bang Din, udah siap skripsinya?” Din hanya menggeleng kepalanya sambil tersenyum. Dia terus berjalan hingga matanya kemudian menangkap secarik kertas bertulis “Pengumuman untuk Mahasiswa Tingkat Akhir”. Merasa maklumat itu penting baginya, Din pun membacanya dengan seksama. Pada baris ketiga dahinya mengerut. Batas terakhir pendaftaran sidang skripsi tanggal 9 Juni 2012.

***

Dari tiga rental komputer yang ada, hanya satu yang memiliki genset. Tidak heran, tempat itu dipenuhi oleh belasan orang yang mengantre. Hampir semuanya ingin mengeprint tugas atau makalah. Rata-rata waktu yang dibutuhkan satu orang sekitar 10 menit. Tidak lama sebenarnya. Namun, perasaan buru-buru membuat menunggu terasa panjang.

“Masuk nggak, bang?” Kata seorang perempuan kepada Din. Dia tidak sabar melihat Din yang sedari tadi sibuk memasuk-cabutkan flashdisk-nya. Memang alat itu sudah lama dia miliki. Jadi, suka bermasalah dengan koneksi.

Setelah bergulat dengan flashdisk, Din akhirnya berhasil mencetak seluruh halaman. Dia pun bergegas membayar semua biaya ke kasir. Tanpa sempat mengambil uang kembalian, dia melompat ke atas sepedamotor. Suara deru mesin bersahutan dengan suara genset rental komputer yang tiba-tiba mati. Sepedamotor Din melesat meninggalkan seisi rental yang mendadak gempar dengan tingkahnya.

Jam menunjukkan pukul 10.20 WIB. Din tahu benar dia akan disemprot oleh Pak Faisal. Atau yang lebih buruk lagi, dosen pembimbingnya itu akan berpura-pura tidak mengenal dirinya.

Sepedamotor melambat dan berhenti di sebuah kedai kopi kawasan Lampineung. Dari tempat parkir terlihat para pengunjung memenuhi tempat itu. Din bergerak masuk. Tidak sulit menemukan Pak Faisal. Pria berkepala hampir botak itu duduk di bagian depan kedai bersama dua lelaki. Sepertinya mereka juga dosen.

“Assalamualaikum.” Din menyapa singkat. Tiga lelaki yang sebelumnya tertawa-tawa kini mendadak diam. Sejenak mereka memandang wajah Din. Dalam beberapa detik, dosen-dosen itu sukses mendeteksi bahwa lelaki gondrong yang berada di depan mereka adalah mahasiswa skripsi.

“Jam berapa kita buat janji?” Pak Faisal bertanya dingin. Raut wajahnya seperti pulpen yang siap mencoret lembaran skripsi. Sementara dua temannya kompak meneguk kopi secara bersamaan.

“Maaf, pak. Tadi lampu mati. Jadi, saya....”

“Kamu pulang saja.” Pak Faisal memotong jawaban Din. “Saya paling tidak suka sama orang yang melanggar janji. Apalagi kamu mahasiswa. Apa jadinya bangsa ini kalau semua mahasiswa seperti kamu?”

“Tapi pak, bulan depan saya harus daftar sidang. Paling tidak bapak melihat dulu lah skripsi saya ini.”

Tanpa menjawab pernyataan Din, Pak Faisal beserta dua temannya beranjak pergi. Meninggalkan Din di tengah ingar-bingar kedai kopi.

Ditinggal dosen pembimbing, Din memilih pergi ke kampus. Sebenarnya dia tidak memiliki keperluan apa pun. Hanya ingin duduk-duduk melepas penat. Untungnya dia bertemu Syahrial, mahasiswa tingkat akhir, sama seperti dirinya. Mereka pun duduk di dalam sebuah ruangan belajar yang kosong. Walau listrik padam, tapi pihak kampus menghidupkan genset demi kelancaran perkuliahan.

“Hahaha! Apa kubilang, kalau milih judul jangan susah-susah. Nanti kena bimbing sama dia!” Syahrial tak henti-hentinya tergelak. Menertawakan Din yang baru saja didamprat Pak Faisal. Din juga ikut menertawakan dirinya sendiri. Walaupun kejadian tadi sangat menyakitkan hati, tapi ketika bertemu dengan teman seangkatan, semuanya jadi terasa lucu, bahkan hinaan sekalipun.

Klek. Pintu ruangan terbuka. Din dan Syahrial mendadak diam. Mereka mengira ada dosen yang masuk. Tapi ternyata yang membuka pintu adalah seorang mahasiswi. “Eh, Dek Rina rupanya! Abang kira dosen!” Syahrial menyatakan keterkejutannya sambil memukul kursi. Suasana kembali riuh. Apalagi sekarang mereka ditemani oleh Rina yang terkenal ramah dan enak diajak bicara. Mereka pun asik berbicara tentang berbagai hal. Waktu berjalan tanpa terasa.

“Hehehe. Besok jangan lupa datang ya di acara seminar itu! Awas kalau abang nggak datang!” Kata Rina dengan ramah. “Sip. Insya Allah!” Jawab Din dan Syahrial kompak. Mereka berdiri, siap-siap pergi karena kuliah di ruangan itu akan segera dimulai. Para mahasiswa juga sudah mulai memenuhi kursi. “Oya bang, skripsinya gimana?” Rina bertanya basa-basi. Lampu ruangan tiba-tiba mati. Din dan Syahrial mendadak terdiam. Minyak genset pun rupanya telah habis.

Cerpen - Nilai Kesabaran

Cerpen Karya Aneuk Aceh - Cerpen Aceh


Cerpen Aceh - “Aku?”  Tanyaku padanya. Aku tak percaya  ketika ia mengatakan bahwa aku yang terpilih. Aku masih tak percaya, namun ia menunjukkan tanda bahwa ucapnya benar adanya. Aku telah terpilih menjadi orang yang akan mendapat beasiswa ke Paris,  yang katanya tempat ilmu sastra bersemayam. Tentunya tak terkira bahagia yang menyelimuti diriku, sebab dari ratusan peserta dari berbagai daerah,  akulah yang terpilih. Sungguh ini di luar dugaan. Jauh sebelumnya aku tak percaya aku yang diterima saat aku mendengar semua peserta adalah orang-orang yang telah banyak menerbitkan karya di media, baik lokal maupun nasional. Aku sungguh merasa pesimis di antara semua itu, karena aku tak mempunyai karya yang bisa ku pamerkan pada mereka bahwa aku juga penulis sastra, seperti yang mereka lakukan. Ada yang menampakkan novelnya, ada yang menceritakan prestasinya, dan ada juga yang telah menerbitkan karya di media nasional. Aku hanya tertunduk lesu di ruang tunggu itu dan mereka tersenyum sungging melihatku. Tapi, hari ini aku telah membuktikan aku bisa lebih dari mereka. Hanya dengan modal yakin, sabar,  dan berusaha.

** ***

Sebelumnya, aku hanyalah seorang yang hobi membaca dan menulis cerita saja. Semua buku berkenaan dengan sastra aku  lahap. Keinginanku untuk menulis timbul setelah membaca. Mimpiku ingin pergi keluar sana,  Paris, tempat sastra bermula. Tapi, dengan kondisi ekonomi, niat itu ku urung jua. Namun,  Tuhan berkata lain. Dia  menumbuhkan lagi mimpiku, hingga aku terus berusaha dan yakin dengan pertolongan-Nya.  Aku terus membaca dan menulis.  Itulah yang selalu aku lakukan setiap ada waktu luang. Dalam perjalanan kisahku, banyak kerikil tajam yang menghadang.  Saat rintangan datang bertubi-tubi,  aku teringat  ucapan Ayahku dulu. “Jangan putus kau bermimpi , nak! Karena Tuhan tak menyambung mimpi mu lagi, kalau sang pemimpinnya kalah oleh waktu. Tuhan itu Maha Kaya,  Maha Pengasih. Jadi, mintalah yang besar padanya! “Aku selalu mengingat ucapan Ayahku sewaktu aku masih di kampung. Tapi,  ucapan Ayah yang paling aku ingat hingga saat ini adalah kata-kata mutiaranya padaku.  “Harus jalani dulu kerikil kehidupan, sebelum temukan jalan kebahagiaan.” Kata-kata itu telah menghipnotisku untuk terus bermimpi menggapai langit tinggi.  Mengelilingi dunia dengan karya, bersama nikmat dari perihnya jalan usaha.

Aku  bangga memiliki Ayah seperti dia. Menjadi  motivator bagiku, walau ia hanya seorang petani biasa yang harinya hanya mencangkul dan menanam saja.  Ayah yang menyayangi keluarga, berjiwa wibawa, dan mempunyai segudang motivasi untuk anaknya. Ayahku selalu mengartikan hidup ini dengan sebatang pohon. Semakin tinggi pohon itu, maka semakin kencang angin yang akan menerpa. “Semakin besar kamu, semakin banyak masalah akan menimpa. Ibarat pohon itu, ia tinggi namun sering diterjang angin kencang. Kalau kamu tidak bisa menghadapi masalahmu dengan senyuman persahabatan, maka  kau akan tumbang seperti pohon di sana!” ucapan yang selalu ayah berikan ketika masalah menjelma.

Saat aku telah di kota, masalah menjadi teman, persoalan menjadi kebiasaan, dan keputusasaan datang lalu lalang. Dan semua itu selalu terusir oleh kata-kata ayahku yang kusimpan rapi di memori. Bagaimana aku bisa menghadapi lingkungan kota yang begitu kejam dan keji ini tanpa ayah di sini?  “Ah, kota tak seindah desa,” ucapku dalam kalbu. Orang-orang di sini egois. Hanya mementingkan diri sendiri. Beda betul dengan di desa, yang kental kekeluargaannya. Orang-orang berbaju sobek pun ada di mana-mana. Untuk membaca pun aku harus menahan malu. Mereka sering menertawakanku dan menamaiku seorang kutu buku.  Aku tak hirau ucap itu, yang penting aku membaca di mana pun aku berada. Biar mereka berkata apa. Tak jarang aku dengar, “Hai, kutu buku! Mana bukumu”,  di saat aku lewat di hadapan mereka.

Aku ingin ikut kursus menulis saja harus membayar mahal. “Ini kursus menulis apa kursus mencari duit ,” ucapku pada panitia di situ.  Hingga ia marah mendengarnya dan mengusirku keluar. Tapi aku tak putus asa. Bukan hanya di sini   tempat  belajar sastra.  Tantangan yang kuhadapi semakin banyak saja. Di perjalanan sepulang dari kursus menulis itu, aku melihat seorang kakek penjual bubur, yang sedang di maki-maki oleh empat pemuda berkalung di leher dan berrambut gondrong .  Aku melihat kakek itu ditampar oleh orang itu. Gerobak buburnya dirusak hingga semua bubur jatuh ke tanah. Aku mendekati mereka, aku membantu sang kakek yang terjatuh karena ditendang. Namun orang itu marah padaku dan memukuliku beberapa kali. “Beraninya kamu menolong si tua Bangka ini. Rasakan ini, brakk..!” Satu bogem mentah melayang ke mukaku. Mereka juga mengambil semua isi dompetku, termasuk uang yang tadinya untuk kursus menulis. Semua lenyap di tangan orang itu sambil tertawa terbahak. Setelah orang itu pergi, kakek tadi menolongku. “Kenapa kamu ke sini,  nak? Mereka itu preman di sini, mereka tak segan membunuh,” kata  kakek itu dengan wajah pucatnya. “Kita harus banyak bersabar  menghadapi hidup ini,” ucap sang kakek.

Aku memetik satu pelajaran berharga dari kakek itu, walau dagangannya habis berserakan di tanah dan tentu rugi pasti ada, namun ia tetap bersabar.   Aku menyesal selama ini yang sering berputus asa dalam mimpi.


Matahari telah terbit. Bulan tak tampak lagi. Burung bernyanyi tanda pagi hadir kembali. Hari ini adalah hari bahagia dalam hidupku. Aku akan berangkat ke Paris untuk menimba ilmu. Semua tak lepas dari motivasi Ayah yang selalu menasihatiku dan pelajaran dari sang kakek yang menyampaikan arti sebuah kesabaran.  Inilah hasil dari pohon sabar dan usahaku selama bertahun-tahun. Setelah pengumuman itu,  aku lega dan tak percaya aku juara pertama. Itu semua karena mereka. Kini aku akan berangkat ke sana, “Parisssss…  aku datang.”

Aku sangat bersyukur mempunyai seorang Ayah seperti dia dan juga telah dipertemukan dengan orang yang penuh sabar.  Kini aku  pun sadar betapa kesabaran dengan seraya berusaha akan berbuah bahagia.